POLITIK TANAM PAKSA/ CULTURSTELSEL (1830-1870)


ANISA FIRDA RAHMA / SI 3
1.      PENDAHULUAN
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hinia – Belanda.Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah.Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah.Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 desember 1839.Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1970, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.
2.      Politik Tanam Paksa/Culturstelsel (1830 – 1870)
Alasan utama siterapkannya politik tanam paksa oleh pemerintah kolonial Hindia – Belanda di bawah Gubernur Jendral Van Den Bosch karena keadaan kas pemerintah sudah sangat menipisuntuk menggaji para pegawai pemerintah.Keadaan keuangan yang defisit ini merupakan akibat dari peperangan secara terus menerus untuk memadamkan perlawanan kaum pribumi, seperti perang paderi (1821 – 1837) dan perang siponegoro (1825 -1830).Perang demi perang untuk menumpas perlawanan kaum pribumi membutuhkan biaya yang sangat besar.
Hakikat dari politik tanam paksa (culturstelsel)adalah pernduduk atau rakyat pribumi di wilayah Hindia Belanda diwajibkan menyediakan hasil bumi sebagai ganti membayar pajak tanah, di mana hasil bumi yang diserahkan itu sama nilainya dengan besarnya pajak yang harus dibayar. Hasil bumi tersebut untuk kepentingan ekspor ke pasar eropa.
Prinsip pokok dari politik tanam paksa adalah susuk atau rakyat pribumi harus menyediakan 2/5 hasil panen utama untuk diserahkan kepada pemerintah kolonial belanda.Jika politik ini tidak dapat dijalankan sebagai gantinya penduduk atau rakyat pribumi harus menyerahkan 1/5 waktu kerja dalam satu tahun untuk melakukan kegiatan wajib tanam.
Tujuan pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik tanam paksa dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.      Untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak banyaknya (batig slot atau keuntungan bersih)
2.      Untuk memenuhi kebutuhan ekspor ke eropa sehingga pemerintah kolonial belanda menerima devisa yang banyak.
Daerah – daerah yang terkena politik tanam paksa ini, terutama adalah pulau jawa sebagai tulang punggung kekuasaan kolonial belanda di indonesia (Hindia Belanda). Tiga propinsi utama di pulau jawa adalah wilayah pokok tanam paksa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di seluruh npulau jawa, terdapat 18 kerisidenan atau asistenan yang berdiri sebagai areal tanam paksa, yaitu: Banten, Priangan, Krawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Banyumas, Kedu, Bagelen, Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Mediun, dan Kediri. Sedangkan tanaman yang diwajibkan dalam politik tanam paksa, meliputi: tebu, indigo atau nila, teh, kopi, tembakau, kayu manis, dan kapas (Kartodirdjo, 1999:313-316)
Penerapan politik tanam paksa disesuaikan dengan adat pribumi.Maksudnya, kaum bangsawan feudal dikembalikan pada posisi yang lama.Pengaruh mereka dimanfaatkan untuk menggerakkan rakyat, memperbesarkan produksi, dan menjalankan pekerjaan – pekerjaan yang diminta oleh pemerintah kolonial belanda.Bedanya dengan politik konservatif, para bangsawan ditempatkan di bawah kekuasaan pegawai – pegawai pemerintah kolonial belanda yang mengawasi mereka secara ketat.
Sistem presentase (komisi) merupakan cara yang paling umum dan dinilai paling efisien untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari politik tanam paksa. System ini, dalam praktiknya, menjadi sumber korupsi dan penyelewengan.Inilah penyimpangan terpenting dari pelaksanaan kebijakan tanam paksa. Jenis – jenis penyimpangan dari pelaksanaan kebijakan tanam paksa, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Praktik penyediaan tanah untuk penanaman tanaman yang diwajibkan oleh pemerintah colonial sering tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan dilakukan dengan paksaan.
2.      Di beberapa daerah, penyediaan tanah dibebankan bukan secara individual melainkan kepada seluruh desa, sehingga berakibat timbulnya perluasan tanah komunal (milik bersama)
3.      Dalam teori, bagian tanah penduduk yang diminta untuk ditanami tanaman wajib hanya 1/5, namun dalam praktiknya, melebihi ketentuan tersebut.
4.      Pembayaran setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati sesuai dengan jumlah barang yang diserahkan.
5.      Dalam teori, pekerja perkebunan tanaman yang diwajibkan akan mendapatkan upah, namun dalam praktiknya banyak yang tidak diberi upah sama sekali.
3. Dampak Tanam Paksa
a)              Bagi Belanda
a.       Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
b.      Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan.
c.       Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.
d.      Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi.
e.       Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
f.       Belanda tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang Indonesia.
g.      Menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil tanaman tropis.
b)              Bagi Indonesia
a.       Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
b.      Beban pajak yang berat.
c.       Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen.
d.      Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana.
e.       Pemaksaan bekerja sewenang-wenang kepada penduduk pribumi.
f.       Jumlah penduduk Indonesia menurun.
g.      Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
h.      Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
i.        Memperkenalkan teknoligo multicrops dalam pertanian.
Dampak tanam paksa bagi masyarakat di pulau jawa sangat beragam.Bagi kalangan elite bangsawan, masa tanam paksa mer4upakan masa yang cukup menguntungkan.Kedudukan feudal mereka menjadi lebih aman karena menurut ketentuan jabatan mereka diwariskan turun temurun.Mereka memperoleh persentase keuntungan yang cukup besar dari penyerahan wajib tanam paksa yang mereka kelola.Sebenarnya kaum elite bangsawan pada masa tanam paksa menjadi alat kekuasaan pemerintah colonial belanda.Sehingga tidak heran, agar mendapatkan persentase keuntungan yang lebih besar mereka harus melakukan pemaksaan kepada para petani.
Sementara itu, dampak tanam paksa bagi rakyat kebanyakan dapat dikatakan cukup menyengsarakan, beratnya melaksanakan kerja wajib tanam paksa dirasakan oleh sebagian besar petani.Penanaman tebu dan nila mengambil lahan petani, tenaga kerja, dan air dari penanaman padi sehingga di beberapa daerah sangat merugikan penduduk setempat.Belum lagi terjadinya wabah kelaparan di beberapa daerah seperti priangan timur dan grobogan menunjukkan adanya dampak buruk darikebijakan tanam paksa.
Akan tetapi bagi pemerintah colonial belanda, kebijakan tanam paksa terbukti memberikan keuntungan yang sangat besar.Selain dapat untuk menutup semua hutang pemerintah kerajaan belanda dan pemerintah colonial belanda, negeri belanda mendapatkan keuntungan bersih (batig slot), rata- rata pertahun mencapai 10 – 14 juta gulden.Dalam jangka waktu antara tahun 1831 – 1877, negerri belanda mendapatkan batig slot sebesar 823 gulden (suhartono, 1994: 12 – 13).
Reaksi terhadap politik tanam paksa diwilayah hindia belanda mulai muncul pada tahum 1848.Perdebatan perdabatan berlangsung didalam parlemen negeri belanda.Golongan liberal mulai mendominasi parlemen dan merekalah yang banyak menentang politik tanam paksa.Kemenangan kaum liberal pada tahun 1848ditandai oleh disahkannya konstitusi belanda dimana terjadi perubahan system pemerintahan negeri belanda dari monarkhi – konstitusional menjadi monarkhi – demokrasi parlementer.Berikutnya pada tahun 1854 disahkan Regeering Reglement (RR) yang berisi jaminan kebebasan individu, keamanan hak – hak dan usaha – usaha (terutama dibidang ekonomi).RR ini belakangan menjadi dasar dalam penerapan politik colonial liberal.
Decade 1850 – 1870 di negeri belanda ditandai oleh pertumbuhan industry – industry dan perkembangan bank – bank.Konsentrasi dan sentralisasi modal beralih ke tangan kaum liberal.Kebijakan – kebijakan merkantilis dan proteksi mulai digugat oleh kaum liberal agar di ganti dengan kebijakan non – intervensi.
Pada tahun 1867 muncul UU yang disebut Comptabiliteit Wet.Isinya adalah anggaran belanja pemerintah colonial belanda.Isu – isu mengenai batig slot (keuntungan bersih) menjadi sasaran kritik – kritik pedas, baik dari golongan liberal maupun golongan humanis.Kedua golongan inilah yang paling gencar mengkritik politik tanam paksa dan penerapannya di Indonesia (Hindia – Belanda).
4. Tokoh – tokoh penentang politik tanam paksa
1. Eduard Douwes Dekker (1820–1887)
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli sebelumnya adalah seorang residen di Lebak, (Serang, Jawa Barat).Ia sangat sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa dan berusaha membelanya. Tokoh ini menyaksikan secara langsung dampak atau akibat politik tanam paksaterhadap penderitaan rakyat pribumi, baik berupa ekses kekejaman, penindasan,maupun kemiskinan, kelaparandan lain – lain yang dirasakan penduduk pribumi. Bahkan  Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Selain itu, ia juga mencela pemerintah Hindia-Belanda atas segala kebijakannya di Indonesia. Eduard Douwes Dekker mendapat dukungan dari kaum liberal yang menghendaki kebebasan.Akibatnya, banyak orang Belanda yang mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa.
2. Baron van Hoevell (1812–1870)
Selama tinggal di Indonesia, Baron van Hoevell menyaksikan penderitaan bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa.Baron van Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang sistem tanam paksa.Tokoh ini lebih banyak mengkritik tanam paksa dari sisi penyalahgunaan atau penyelewengan politik tanam paksa.
3.      Golongan Pengusaha
Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan. Penghapusan sistem tanam paksa diawali dengan penghapusan kewajiban penanaman nila, teh, kayu manis (1965), tembakau (1866), tanaman tebu (1884) dan tanaman kopi (1916). Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa.Secara berangsur-angsur penghapusan cultuurstelsel adalah sebagai berikut.
           Pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
           Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk the dan nila.
           Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.
Mereka berjuang keras untuk mrnghapuskan system tanam paksa yang menyengsarakan rakyat melalui parlemen Belanda.Karena banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan coloni tanam paksa yang tidak berperikemanusiaan tidak hanya di coloni Indonesia namun di negeri Belanda, maka coloni tanam paksa dihapuskan dan digantikan oleh politik liberal colonial.
DAFTAR PUSTAKA
Suwarno. 2011. Latar Belakang dan Fase Awal Pertumbuhan Kesadaran Nasional. Purwokerto: Pustaka Pelajar.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia-Belanda . Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs. M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008. Jakarta: Serambi.

No comments:

Post a Comment