“Pemogokan Delanggu” Sebagai Pemogokan Buruh Pertama Kali Di Masa Indonesia Merdeka (Murni Masalah Ekonomi Atau Berunsur Politis?)


Dewi Larasati / SI 5
Pemogokan ini dilancarkan secara teratur dan besar-besaran oleh Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) selama bulan Mei hingga Juni 1948. Pemogokan buruh yang pertama kali di alam Indonesia merdeka ini menyangkut pekerja-pekerja di pabrik karung dan tujuh perkebunan di Delanggu dan sekitar Klaten, Jawa Tengah. Pada tulisan ini penulis ingin menjelaskan apakah faktor utama pemogokan Delanggu. Dilatarbelakangi kebutuhan ekonomi semata, atau ada unsur-unsur politik yang ikut mendukungnya.
Latar Belakang
Tahun 1945, Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaan yang  berarti lepas dari belenggu penjajahan. Namun, kehidupan buruh masih sangat memprihatinkan. Aksi mogok buruh pertama setelah merdeka yakni di daerah Klaten, 1948. Mereka yang melakukan pemogokan adalah buruh kapas, rosella dan karung yang tergabung dalam organisasi Sarbupri (Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia). Aksi buruh ini sarat muatan akan konstelasi politik yang melanda Indonesia pada saat itu. Aksi ini yang nantinya akan menjadi cikal bakal Madiun Affair  18 September 1948.
Sarbupri , seperti buruh pada umumnya yaitu menutut kenaikan upah dan penghidupan yang layak. Ada kesenjangan yang sangat nyata pada buruh dengan pemilik modal dan pemilik tanah. Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh PKI yang saat itu mengalami pencitraan buruk setelah Amir Syarifudin, didepak dari kursi perdana menteri.  Ketika itu Amir Syarifudin, langsung mengambil sikap dengan menyatakan oposisi dengan pemerintah yang menyetujui perjanjian renville. Pada bulan Februari 1948, koalisi sayap kiri berganti nama menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). (m.c.ricklefs,91:341)
Salah satu cara yang dilakukan untuk mendapat dukungan dari masyarakat adalah dengan memberikan simpati dan dukungan terhadap buruh di Klaten. Hal itu dianggap pahlawan oleh kaum buruh di Klaten dan Sarbupri pun setuju menjadi sub underbouw PKI di bawah naungan SOBSI. Ini terbukti dengan  buruh  yang ikut organisasi Sarbupri berjumlah 15.000, sedangkan jumlah buruh di sana mencapai 20.000. Namun, tidak semuanya bejalan lancar. Para pemilik modal dan tuan tanah yang merasa rugi akibat pemogokan di dekati oleh Masyumi yang saat itu partai besar. Masyumi memberikan pemahaman berbau agama kepada buruh. Masyumi bersintesa, dalam Al-Qur'an kita tidak boleh membuat orang lain merugi, apabila kita melakukan itu kita dosa.Dan, membuat SBTII (Serikat Buruh Tani Islam Indonesia). Akan tetapi PKI membuat antitesa yang banyak diamini oleh buruh, biarkan pemilik modal maupun  tuan tanah merugi sementara waktu. Biar mereka tahu betapa sengsaranya kehidupan yang selama ini dialami buruh. Kita ini, tenaga revolusioner ! Mereka dapat tertawa senang diatas keringat jerih payah kita.
 Penyebab munculnya pemogokan diawali dengan diadakannya Konferensi Nasional Sarpubri pada 17 Februari 1948. Dalam konferensi yang dihadiri wakil-wakil Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Barisan Tani Indonesia (BTI) dan cabang-cabang Sarpubri ini, diputuskan untuk membantu program-program BTI dalam perjuangannya.
Jalannya Pemogokan
Diilhami dari Konferensi Nasional Sarpubri pada 17 Februari 1948, dan Dorongan dari Front Demokrasi Rakyat (FDR), suatu organisasi yang bersifat Marxist di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin, Sarpubri Delanggu mengadakan pemogokan. Anggota Sarbupri cabang Delanggu sebagian besar adalah buruh-buruh perkebunan kapas, rami, dan pabrik karung goni. Pemogokan bertujuan agar badan tekstil Negara (btn) menaikkan upah buruh, membagikan bahan pakaian dan membagikan jatah beras bagi para buruh beserta keluarganya. Untuk itu, sejak Februari Sabupri mulai mengadakan kampanye. Pemogokan-pemogokan pertama dimulai pada minggu pertama bulan Mei 1948. Pemogokan ini berlanjut karena kegagalan perundingan antara BTN dan Sarpubri. BTN tidak bersedia memenuhi tuntutan Sarpubri, karena negara sedang mengalami kesulitan ekonomi. maka pemogokan terus berlangsung hingga 16 Juli 1948.
Aksi mogok itu dilakukan dengan mogok lambat kerja, dan mogok tidak bekerja secara umum, namun tetap hadir dan mogok secara kelompok. Pada pertemuan awal Juni BTN tetap tidak bersedia memenuhi tuntutan kenaikan upah, namun memberikan pakaian sebagai jatah tahun 1947 dan memberikan beras pada setiap buruh, tatapi tidak untuk keluarga para buruh. Begitu pula pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, tidak tercapai kesepakatan karena BTN tetap menolak tuntutan tersebut, walaupun Menteri Kemakmuran dan Menteri Urusan Perburuhan dan Sosial telah ikut turun tangan dalam perundingan tanggal 17 Juni.
Oleh karena kegagalan-kegagalan itu, pada akhirnya perselisihan antara BTN dan Sarbupri yang didukung oleh Lembaga Buruh dan Tani (LBT) Delanggu tidak dapat dihindarkan lagi. Pada 23 Juni 1948 lebih kurang 15000 buruh pabrik goni dari 7 BUMN perkebunan RI di Delanggu, Klaten melancarkan aksi mogok total menuntut kenaikan upah. Mereka meletakkan bendera-bendera merah di lokasi perkebunan kapas, rami, dan lokasi pabrik, dengan maksud member syarat bahwa tak seorangpun boleh meneruskan pekerjaan. Suasana semakin tegang ketika tanggal 26 Juni, beberapa anggota Sarekat Tani Islam Indonesia (STII) bekerja di perkebunan kapas yang sedang menjalankan pemogokan itu. STII cenderung mendukung pemerintah Kabinet Hatta. Sehingga LBT bersama Kesatuan Aksi Delanggu menyebarkan pamflet yang menyatakan mereka bukan pemberontak dan pemogokan yang mereka lakukan agar jangan di ganggu. Ternyata pamflet-pamflet itu justru semakin menambah panas suasana. Apalagi ketika Divisi Siliwangi datang ke Delanggu yang sebenarnya kedatangannya karena mendapat tekanan dari Belanda. Hal ini dianggap akan mengganggu kaum pemogokan oleh FDR juga menambah marah para pemogok.
Pada 10 Juli 1948, keadaan di Delanggu tempat mogoknya kaum buruh pabrik goni dan perkebunan kapas menjadi gawat. Buruh yang dipimpin oleh Lembaga Buruh Tani (LBT) yang bernaung di bawah SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) itu mulai berbentokan dengan buruh tani yang bergabung dalam STII (Sarekat Tani Islam Indonesia). Anggota STII tetap bekerja (tidak ikut mogok) dengan alasan untuk menyelamatkan tanaman kapas yang masih muda. Tapi yang lebih gawat, menurut sumber STII, suatu hari ada 500 buruh SOBSI yang mengeroyok anggota STII yang sedang bekerja. Insiden timbul, karena pihak Hizbullah yang bersenjata melakukan perlawanan terhadap para pemogok. (Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan; Kisah Pemberontakan Madiun September 1948 – TK)
Penyelesaian gerakan buruh yang melibatkan Badan Tekstil Negara (B.T.N) dan Lembaga Buruh dan Tani (L.B.T) serta SOBSI membuat Pemerintah membentuk Panitia Enquete Badan Pekerja-KNIP (BP-KNIP). Panitia Enquete betugas menyelidiki permasalahan yang terjadi pada buruh dan petani di Delanggu agar perselisihan antara B.T.N dan SOBSI cepat selesai. Penyelesaian oleh Panitia Enquete dengan cara perundingan antara B.T.N dan SOBSI dengan juru pendamai dari Kementrian yaitu Mr. Raden Mas Sartono. Mulai tanggal 9 hingga 10 Juli 1948, BP KNIP mengadakan sidang guna membahas masalah pemogokan Delanggu. Tetapi sekali lagi, sidang ini mengalami kegagalan karena BTN tetap pada pendiriannya semula.
Pada akhirnya pemerintah mengadakan rapat khusus guna membicarakan masalah pemogokan kerja delanggu. Rapat dihadiri oleh wakil-wakil dari BTN, anggota KNIP dan LBT Delanggu. Dari hasil pertemuan ini dicapai kesepakatan bahwa BTN akan memenuhi tuntutan-tuntutan Sarbupri kecuali masalah peraturan upah baru bagi buruh yang masih ditunda. Hasil pertemuan ini kemudian diumumkan pemerintah melalui radio Yogyakarta pada tanggal 16 juli 1948, bahwa semua tuntutan LBT telah diterima pemerintah. Pada 18 juli 1948, buruh yang mogok mulai bekerja kembali.
Kesimpulan
Faktor penyebab terjadinya gerakan buruh Delanggu adalah sebagai berikut:
1.      Faktor sosial-ekonomi yaitu kesenjangan upah dan fasilitas antara buruh staff dengan buruh lapangan di perkebunan. Selain itu juga pembagian beras dan bahan pakaian kepada seluruh buruh baik staff maupun non staff yang tidak merata.
2.      Faktor politik yaitu jatuhnya kabinet Amir Sjarifuddin membuat pengaruh Front Demokrasi Rakyat (FDR) semakin kuat di daerah. FDR menghasut para buruh yang tergabung dalam Sarbupri dan SOBSI agar melakukan pemogokan di Delanggu secara besar-besaran untuk menjatuhkan Kabinet Hatta.
Dari beberapa uraian di atas faktor politik jelas punya andil besar dalam pemogokan Delanggu. Begitulah kehidupan buruh. Tunduk ditindas, Diam ditindas. Tunduk dan Diam, atau bangkit melawan !.(Sarjana Sigit Wahyudi.2001.Ketika Sarbupri Mengguncang Pabrik Karung Delanggu 1948)
 
Daftar Pustaka
            . 1996.Terminologi Sejarah (1945-1950) dan (1950-1959).Jakarta:Depdikbud Proyek IDSN.
Ricklefs, M.C.1991.Sejarah Indonesia Modern.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
Sumber Internet

No comments:

Post a Comment