MALAM BERDARAH DI SUMATERA TIMUR (Suatu Revolusi Sosial yang Telah Melenceng)


OLEH: DEWI LARASATI/ SI 5

        "Malam berdarah" adalah peristiwa pembunuhan raja-raja dan kaum bangsawan di Sumatera Timur. Peristiwa ini merupakan satu bentuk revolusi sosial yang dilakukan kelompok radikal di dalam tubuh Persatuan Perjuangan (PP) yang mencakup pimpinan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di samping Laskar Barisan Harimau Liar (BHL) dan Tentara Sabilillah. Revolusi sosial di daerah ini terjadi pada bulan Maret 1946.

Latar Belakang Peristiwa
        Oleh karena sulitnya komunikasi dan transportasi, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus baru dibawa oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan selaku Gubernur Sumatra dan Mr. Amir selaku Wakil Gubernur Sumatra dan diumumkan di Lapangan Fukereido (sekarang Lapangan Merdeka), Medan pada tanggal 6 Oktober 1945. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI dibawah pimpinan Brigjen T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan dan membebaskan tawanan perang orang-orang Belanda di Medan. Pada pertengahan abad ke-19, perkebunan tembakau tumbuh dengan pesat di wilayah kesultanan Deli  sehingga mengakibatkan migrasi buruh (kuli) perkebunan yang diangkut oleh Belanda. Pada awal abad ke-20, hampir separuh penduduk Sumatra Timur adalah buruh pendatang yang banyak dieksploitasi oleh Belanda.
        Meletusnya revolusi sosial di Sumatera Utara tidak terlepas dari sikap sultan-sultan, raja-raja dan kaum feodal pada umumnya, yang tidak begitu antusias terhadap kemerdekaan Indonesia karena setelah Jepang masuk, pemerintah Jepang mencabut semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh para buruh. Kaum bangsawan tidak merasa senang dan berharap untuk mendapatkan hak-haknya kembali dengan bekerja sama dengan Belanda/NICA, sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro-republik. Sementara itu pihak pro-republik mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur supaya daerah istimewa seperti Pemerintahan swapraja/kerajaan dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dengan semangat perjuangan kemerdekaan. Namun pihak pro-repbulik sendiri terpecah menjadi dua kubu; kubu moderat yang menginginkan pendekatan kooperatif untuk membujuk kaum bangsawan dan kubu radikal yang mengutamakan jalan kekerasan dengan penggalangan massa para buruh perkebunan.

Jalannya Revolusi
        Peristiwa ini terjadi tanggal 3 maret 1946, dengan tujuan melenyapkan raja-raja dan kaum bangsawan yang memihak Belanda sejak masa kolonial. Mereka ragu-ragu dalam menerima kemerdekaan dan berharap belanda akan berkuasa kembali. Di samping usaha pelenyapan raja-raja dan kaum bangsawan, juga untuk menguasai harta kekayaan yang luar biasa dari raja-raja itu yang mereka peroleh dari keistimewaan yang diberikan pemerintah kolonial Belanda. Dengan alasan tersebut, mereka melakukan serangkaian perampokan, penculikan dan pembunuhan di hampir seluruh wilayah Sumatera Timur, seperti di Karo, Simalungun, Kabupaten Asahan, Labuhan Batu, Tanjung Balai dan lain-lain.
        Di Tanah Karo, dengan alasan mengadakan rapat Persatuan Perjuangan (PP) di Kota Berastagi, para pemuda dari laskar-laskar tersebut menangkap dan mengasingkan para raja Urung dan Sibayak yang diundang hadir dalam rapat itu. Sebagian dari mereka sebanyak tujuh belas orang ditangkap dan diasingkan ke Aceh. Di Simalungun, Barisan Harimau Liar (BHL), yang sebagian besar terdiri dari pemuda Simalungun, pada tanggal 3 Maret malam menangkap dan raja dari Pane beserta keluarganya, lalu merampas harta benda mereka. Raja dan keluarganya ini lalu dibawa ke suatu tempat yang sedang diadakan pesta, kemudian mereka dibunuh. Selanjutnya para pemuda menangkap raja Simalungun lainnya, membunuh mereka dan merampok harta benda milik raja-raja tersebut.
Di Tanjung Balai, Asahan 3 Maret 1946 sejak pagi ribuan massa telah berkumpul. Mereka mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjung Balai. Namun kerumunan itu berubah haluan mengepung istana Sultan Asahan. Awalnya gerakan massa ini dihadang TRI namun karena jumlahnya sedikit, massa berhasil menyerbu istana sultan. Para Aristokrat tak luput dari sasaran mereka antara lain, Teuku Musa, pejabat pendukung kerajaan yang keras dan beristrikan orang Belanda beserta keluarganya semua dibunuh. Besoknya, semua bangsawan Melayu pria di Sumatera Timur ditangkap dan dibunuh. Hanya dalam beberapa hari, 140 orang kedapatan terbunuh di kota itu, termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas tengku. Di Labuhan Batu, jauh sebelah selatan Sumatera Timur, yang raja-rajanya dikenal sangat kejam menindas tanpa kenal batas terhadap rakyat, tak lepas dari sasaran pemuda termasuk kaum bangsawan yang dibunuh juga. Pada tanggal 3 Maret 1946, istana Sultan di Tanjung Pasir dikepung, diserbu dan semua penghuninya ditawan. Sultan bersama putranya keesokan harinya ditemukan sedang sekarat karena tusukan tombak di suatu pekuburan Cina. Sementara di daerah itu juga, wakil pemerintah Negara republic Indonesia, teuku hasan dan tiga pembantunya p.ada tengan malam disergap dan dibawa ke pinggir sungai untuk dibunuh. Teuku hasan dan seorang pembantunya dipenggal kepalanya, sedang dua pembantu lainnya melarikan diri.
        Di daerah kesultanan besar, Deli, Serdang, dan Langkat Persatuan Perjuangan mendapat perlawanan. Serdang yang memang dalam sejarahnya anti-Belanda tidak terlalu dibenci masyarakat dan juga terlindung karena ada markas pasukan TRI di Perbaungan. Sedangkan istana Sultan Deli terlindung karena adanya benteng pertahanan tentara sekutu di Medan sedangkan istana Langkat juga terlalu kuat untuk diserbu. Pergolakan sosial berlanjut pada 8 Maret. Sultan Bilah dan Sultan Langkat ditangkap lalu dibunuh. Berita yang paling ironis adalah pemerkosaan dua orang putri Sultan Langkat, pada malam jatuhnya istana tersebut, pada 9 Maret 1946 dan dieksekusinya penyair terkemuka Tengku Amir Hamzah. Meskipun pemerkosa ditangkap dan dibunuh namun revolusi telah melenceng jauh. Gerakan itu begitu cepat menjalar ke seluruh pelosok daerah Sumatera Timur oleh para aktivis PKI, PNI dan Pesindo. Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja ditahan dan dipenjarakan oleh lasykar-lasykar yang tergabung dalam Volksfront (front perjuangan rakyat. Di Binjai, Tengku Kamil dan Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang pengawalnya. Istri-istri mereka juga ditangkap dan ditawan ditempat berpisah.
        Pada tanggal 5 Maret Wakil Gubernur Mr. Amir mengeluarkan pengumuman bahwa gerakan itu suatu "Revolusi Sosial". Keterlibatan aktivis Partai Komunis dalam revolusi sosial di Sumatera Timur memberikan kontribusi besar; terlebih lagi tanggal 6 Maret 1946, Wakil Gubernur Dr. Amir secara resmi mengangkat M. Joenoes Nasoetion, yang juga ketua PKI Sumatra Timur sebagai Residen Sumatera Timur. Untuk meminimalkan korban Revolusi Sosial, Residen Sumatera Timur M. Joenoes Nasution untuk sementara waktu bekerjasama dengan BP.KNI maupun Volksfront, dan Mr. Luat Siregar diangkat menjadi Juru Damai (Pacifikator) untuk seluruh wilayah Sumatera Timur dengan kewenangan seluas-luasnya.
        Ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh Persatuan Perjuangan (PP), berakhir setelah tanggal 11 April 1946, PP memutuskan untuk berdiri teguh di belakang pemerintah  dan menyerahkan masalah penangkapan. Penangkapan dan pengadilan seseorang yang terlibat dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur hanya dilakukan oleh pemerintah dibantu PP.

Revolusi Sosial yang Melenceng
        Peristiwa yang terjadi di Sumatera Timur ini adalah salah satu bentuk tindakan kelompok masyarakat berlebihan dalam menanggapi pernyataan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka memberi dukungan yang berlebihan kepada Republik dan sebaliknya melawan orang-orang yang kesetiaannya diragukan. Dengan mengatasnamakan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, kelompok Revolusioner melakukan pemberontakan yang berujung dengan pembunuhan dan perampokan pada orang-orang bangsawan. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme. Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang berujung pada pembunuhan anggota keluarga kesultanan Melayu yang dikenal pro-Belanda namun juga golongan menegah pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi Republik Indonesia. Sehingga revolusi yang tadinya membela kemerdekaan, menjadi sebuah petaka berdarah.

Daftar Pustaka
Djaja,Wahyudi.2010.PR Sejarah SMA/MA Kelas XII. Klaten: Intan Pariwara.
Tim Penyusun Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Propinsi Riau.2008.Sejarah SMA/MA Kelas XII.Pekanbaru:CV.Nusantara Offset.
____.Terminologi Sejarah (1945-1950) dan (1950-1959).1996.Jakarta:Depdikbud Proyek IDSN.
Sumber Internet:
http://edisantana.blogspot.com/2011/07/amir-hamzah-pada-gelombang-revolusi.html
Wikipedia.Org.Id/Revolusi_Sosial_Sumatera_Timur

No comments:

Post a Comment