LATAR BELAKANG KEBANGKITAN NASIONAL



SLAMET KABUL BUDIARTO / SIV
1.      Perkembangan Politik Etis
Ide keadilan, kemanusiaan, dan perlindungan rakyat koloni yang berkembang di Belanda telah mendorong munculnya berbagai kritik terhadap kebijakan pememerintah colonial Belanda. Salah satu tokoh yang mengkritik yang mengkritik kebijakan pemerintah colonial Belanda adalah Van Deventer. Dalam artikel "Een Eereschuld" atau "utang kehormatan" yang dimuat dalam majalah De Gids, Van Deventer menceritakan bahwa kekosongan kas Negara Belanda telah diisi oleh bangsa Indonesia. Dengan kata lain, bangsa Indonesia telah berjasa membantu pemerintah Belanda memulihkan resesi ekonomi Belanda meskipun dengan penuh pengorbanan. Menurut Van Deventer, utang budi tersebut harus dibayar dengan peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia melalui Edukasi, Migrasi, dan Irigasi. Dari berbagai kritik inilah kemudian pemerintah colonial Belanda menerapkan kebijakan yang disebut politik etis. [1]
Secara tidak langsung politik etis berhasil mengkristalkan rasa dendam bangsa Indonesia terhadap Belanda sejalan dengan kemajuan media, komunikasi, dan transportasi. Hal yang patut dicatat dalam politik etis adalah pembentukan Volksraad atau Dewan Rakyat. Melalui Volksraad kaum intelektual pribumi yang memwakili rakyat Indonesia dipersatukan dari berbagai daerah. Dengan demikian terbukalah kerja sama dan persatuan diantara mereka untuk memikirkan cita-cita nasional bersama yakni memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia. [2]
2.      Dr. Wahidin Soedirohoesodo
Dr. Wahidin Soedirohoesodo ( lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta, 7 Januari 1852- meninggal di Yogyakarta, 26 Mei 1917 pada umur 65 tahun ) adalah pembangkit semangat organisasi yang pertama. Sebagai seorang lulusan sekolah "Dokter Jawa" di Weltvreden ( yang sesudah tahun 1900 dinamakan STOVIA ), dia bekerja sebagai dokter pemerintah di Yogyakarta sampai tahun 1899. Pada tahun 1901 dia menjadi redaktur majalah Retnadhoemilah ( Ratna yang Berkilauan ) yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu untuk kalangan pembaca priyayi dan mencerminkan perhatian priyayi terhadap masalah-masalah dan status mereka.
Selain seorang yang berpendidikan Barat, wahidin adalah seorang pemain music jawa klasik ( gamelan) dan wayang yang berakat. Dia memandang bahwa kebudayaan jawa dilandasi oleh ilham Hindu-Budha, rupanya berpendapat bahwa sebagian penyebab kemerosotan masyarakat jawa adalah kedatangan agama islam, dan berusaha memperbaiki masyarakat jawa melalui pendidikan Belanda. Wahidin berusaha menghimpun beasiswa guna memberikan pendidikan Barat kepada golongan priyayi jawa. Akan tetapi, hanya segelintir pejabat-pejabat dari generasi tua atau kelas bupati yang bergairah. Pada tingkatan tertinggi masyarakat jawa, hanya seorang pengeran dari garis keturunan Pakualam di Yogyakartalah yang mendukungnya. [3]
Tahun 1906, Dokter Wahidin berkeliling pulau jawa. Ia mendatangi pembesar-pembesar pribumi terkemuka, seperti Bupati dan Priyayi kalangan atas, dan mengajaknya membangun organisasi. Namun hasilnya pun tak ada, ia merasa seperti pengembara berteriak-teriak di tengah padang pasir. Tak ada satu pun yang mendengar. Seruan-seruannya tidak nyambung dengan mentalitas umum priyayi: beku, rakus, gila hormat, dan korup. [4]
Pada tahun 1907 Wahidin berkunjung ke STOVIA dan disana, disalah satu lembaga terpenting yang menghasilkan priyayi rendah jawa, dia melihat adanya tanggapan yang bersemangat dari murid-murid sekolah tersebut. [5]
Kali ini usaha Dokter Wahidin tidak sia-sia. Beberapa pemuda tergugah oleh penjelasan Dokter Wahidin seperti Soetomo dan dua bersaudara yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Tjipto Mangoenkoesoemo. "Suaranya yang jelas dan tenang membuka hati dan fikiran saya. Ia membawa gagasan-gagasan baru dan membuka dunia baru yang meliput saya yang terluka dan sakit," tulis Soetomo dalam bukunya, kenang-kenangan ( 1943 ), yang mengisahkan pertemuan itu. Soetomo yang ketika itu berumur 19 tahun langsung tergerak. Namun, ceramah Dokter Wahidin tidak hanya menggerakkan Soetomo. Seorang selajar STOVIA yang tak lulus, Tirto Adhisoerjo juga terbakar oleh ceramah Dokter Wahidin. Bahkan Tirto bergerak lebih duluan disbanding Soetomo. Tirto mendirikan organisasi bernama "Sarekat Priyayi". Boleh dikatakan, organisasi pribumi pertama adalah Sarekat Priyayi. Pramoedya Ananta Toer mendaulat Sarekat Priyayi sebagai tonggak kebangkitan nasional. Ia tidak setuju dengan penetapan  20 Mei 1908, tanggal lahirnya Budi Utomo, sebagai hari kebangkitan nasional, karena Budi Utomo sejak kelahirannya hingga berubah menjadi Partai Persatuan Bangsa Indonesia ( PBI ) tidak pernah beranjak dari statusnya sebagai organisasi kesukuan ( jawa ). [6]
Maka diambillah keputusan untuk membentuk  suatu organisasi pelajar guna memajukan kepentingan-kepentingan priyayi rendah. Dan pada tanggal 20 mei 1908 diselenggarakan suatu pertemuan yang melahirkan Budi Utomo. Nama jawa ini ( yang seharusnya dieja budi utama ) diterjemahkan kedalam bahasa Belanda oleh organisasi tersebut sebagai het schooner striven ( ikhtiar yang indah ), tetapi menurut konotasi-konotasi bahasa jawa yang beraneka ragam nama itu juga mengandung arti cendekiawan, watak, atau kebudayaan yang mulia. Pada pertemuan pertama itu para mahasiswa dari STOVIA, OSVIA, sekolah-sekolah guru, serta sekolah-sekolah pertanian dan kedokteran hewan terwakili. Cabang-cabangnya didirikan pada lembaga-lembaga tersebut dan pada bulan juli 1908 Budi Utomo sudah mempunyai anggota 650 orang. Mereka yang bukan mahasiswa juga menggabungkan diri, sehingga pengaruh mahasiswa mulai berkurang dan organisasi tersebut tumbuh menjadi partai priyayi rendah jawa pada umumnya. [7]
Budi Utomo pada dasarnya tetap merupakan suatu organisasi priyayi jawa. Organisai ini secara resmi menetapkan bahwa bidang perhatiannya meliputi penduduk jawa dan Madura; dengan demikian, mencerminkan kesatuan administrasi kedua pulau itu dan mencakup masyarakat sunda dan Madura yang kebudayaannya mempunyai kaitan erat dangan jawa. Bukan bahasa jawa melainkan bahsa melayu yang dipilih sebagai bahsa resmi Budi Utomo. Namun demikian, kalangan priyayi jawa dan ( sampai tingkat yang jauh lebih kecil ) sunda adalah yang menjadi inti dukungan Budi Utomo. Budi Utomo tidak pernah memperoleh landasan rakyat yang nyata diantara kelas-kelas bawah, dan mencapai jumlah keanggotaan tertinggi yaitu 10000 orang pada akhir tahun 1909. Pada bulan bulan Oktober 1908 Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Yogyakarta. Pada saat itu Wahidin hanya menjadi tokoh bapak saja, dan bermunculanlah suara-suara baru untuk mengatur organisasi tersebut. Suatu kelompok minoritas dipimpin oleh Tjipto Mangunkusumo ( 1885-1943 ) yang juga seorang dokter dan sifatnya radikal. Dia ingin agar Budi Utomo menjadi partai politik yang berjuan untuk mengangkat rakyat pada umumnya daripada hanya golongan priyayi, dan kegiatan-kegiatan lebih tersebar di seluruh Indonesia daripada terbatas hanya di jawa dan Madura saja. Tjipto juga tidak mengagumi kebudayaan jawa sebagai dasar bagi peremajaan kembali.
Dr. Radjiman Wediodiningrat ( 1879-1951 ), seorang dokter jawa lain, mengemukakan ide-idenya pula. Dia dipengaruhi kebudayaan jawa, dialektika G.W.F. Hegel, subyektivisme I. Kant, dan anti rasionalisme H. Bergson, dan sudah menganut doktrin-doktrin mistik Teosofi sebagai perpaduan Timur dan Barat. Teosofi adalah salah satu diantara gerakan-gerakan yang menyatukan elite jawa, orang-orang Indo-Eropa, dan orang-orang Belanda pada masa itu, dan sangat berpengaruh di kalangan banyak anggota Budi Utomo. Akan tetapi, baik Tjipto maupun Radjiman tidak berhasil mendapatkan kemenangan. Tjipto tampaknya merupakan seorang radikal yang berbahaya dan Radjiman merupakan seorang reaksioner yang kaku. Dipilih suatu dewan pimpinan yang didominasii oleh para pejabat generasi tua yang mendukung pendidikan yang semakin luas bagi kaum priyayi dan mendorong kegiatan pengusaha jawa. Tjipto terpilih sebagai anggota dewan, tetapi mengundurkan diri pada tahun 1909 dan akhirnya bergabung dengan Indische Partij yang radikal. [8]
Gubernur Jenderal Van Heutsz menyambut baik Budi Utomo sebagai tanda keberhasilan politik Ethis. Memang itulah yang dikehendakinya: suatu organisasi pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat yang maju. Pejabat-pejabat Belanda mencurigai Budi Utomo atau semata-mata menganggapnya sebagai gangguan yang potensial, akan tetapi pada bulan Desember 1909 organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah. Adanya sambutan yang hangat dari Batavia menyebabkan banyak orang Indonesia yang merasa tidak puas dengan pemerintah untuk mencurigai Budi Utomo itu. Sepanjang sejarahnya ( organisasi ini secara resmi dibubarkan pada tahun 1935 ) Budi Utomo sering kali tampak sebagai partai pemerintah yang seakan-akan resmi.
Pada umumnya Budi Utomo sudah mengalami kemunduran sejak awal permulaannya karena kekurangan dana dan kepemimpinan yang dinamis. Organisasi ini mendesak pemerintah untuk menyediakan lebih banyak pendidikan Barat, tetapi desakan itu hanya memainkan peran yang tidak begitu berarti dalam upaya-upaya perbaikan yang dibicarakan. Organisasi-organisasi yang lebih aktif dan penting segera berdiri. Beberapa diantaranya bersifat keagamaan, kebudayaan, pendidikan, dan beberapa lagi bersifat politik, dan ada pula yang bersifat keduanya. Organisasi-organisasi itu bergerak di kalangan masyarakat bawah dan untuk yang pertama kalinya terjalin hubungan antara rakyat desa dan elite-elite baru. Golongan priyayi rendah penting didalam beberapa gerakan tersebut, tetapi golongan ini merupakan cabang priyayi rendah yang berbeda dari periyayi yang aktif didalam Budi Utomo. Kalau anggota-anggota Budi Utomo sebagian besar mencetak karir mereka dalam dinas pemerintahan, maka mereka yang memimpin gerakan-gerakan yang lebih aktif tersebut hamper semuanya merupakan orang-orang yang telah berhasil menyelesaikan sekolah-sekolah Belanda, namun kemudian mengundurkan diri atau diberhentikan dari pekerjaan-pekerjaan pemerintahan. [9]
Notes :
[3] M.C. Ricklefs (1991). Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press.    Yogyakarta. Hal : 248
[5] M.C. Ricklefs (1991). Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal : 249
[7] M.C. Ricklefs (1991). Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal : 249
[8] M.C. Ricklefs (1991). Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal : 250
[9] M.C. Ricklefs (1991). Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal : 251

No comments:

Post a Comment