Martha Cristina Tiahahu (Sang Pejuang Wanita Maluku)

Abdullah / Si3
Maluku merupakan daerah yang sangat subur dan indah dengan rempah rempah yang sangat banyak dan berkualitas tinggi sehingga sangat mahal harganya di pasaran eropa, belanda yang mengetahui hal ini membuat belanda tergiur untuk berdagang di maluku. Namun setelah lama ia berdagana belanda ingin menguasai maluku ingin menjajah maluku, akan tetapi ketika belanda ingin menguasai maluku belanda mendapat perlawanan yang sangat sengit dari masyarakat yang ada di maluku perlawanan itu bukan hanya
dari kalangan laki laki saja ada juga perlawanan dari wanita maluku yang sangat tangguh dan pemberani seorang wanita maluku yang bernama Martha Cristina Tiahahu namun bukan hannya belanda saja yang datang ke maluku seperti Portugis, Spanyol, Inggris. Pada awalnya tujuan kedatangan mereka khususnya Portugis dan Spanyol berdagang dengan cara membeli apa yang dihasilkan bumi Maluku, seperti cengkeh dan pala untuk mereka bawa dan jual di Eropa. Namun semakin lama tujuan itu menjadi melenceng dengan adanya keinginan Bangsa Eropa itu untuk menguasai tanah Maluku, karena daerah ini dianggap sangat menguntungkan.[1]
Demikian juga dengan daerah Nusa laut tempat dimana Marta Christina Tiahahu dilahirkan, Belanda mencoba untuk menguasai wilayah ini dengan cara-cara kekerasan. Lewat Organisasi perdagangan yang disebut dengan VOC (Verenigde Oost Indische), Belanda berhasil mengeruk keuntungan lebih banyak lagi. Keuntungan itu Belanda peroleh dengan menggunakan sistem monopoli barang dagangan terutama cengkeh dan pala. Sistem monopoli yang dilakukan Belanda sering dilakukan kurang manusiawi. Tujuan monopoli itu adalah untuk menjaga supaya harga rempah-rempah itu tetap stabil. Sistem monopoli yang dilaksanakan itu sering juga dibarengi dengan menggunakan alat senjata seperti pistol untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Cara-cara seperti itu pada dasarnya sangat menyakiti hati rakyat Maluku.
Martha Cristina Tiahahu lahir di nusa laut, maluku 4 januari 1800 dan meninggal di laut Banda, Maluku yaitu pada tanggal 2, Januari 1818 pada umur 17 tahun ia adalah seorang gadis dari Desa Ababu di pulau nusalaut. Pada waktu ia mengangkat senjata melawan penjajah Belanda pada umur 17 tahun. Ia lahir di keluarga Tiahahu dari kelompok soa uluputi. Soa dalam bahasa maluku berarti kelompok yang membagi masyarakat berdasarkan margannya sebagi identitas keluargannya ayahnya adalah kapitan paulus tiahahu ia adalah seorang kapitan dari negeri Ababu yang juga pembantu kapitan pattimura dalam perang pattimura pada tahun 1817 dan pada saat itu melawan Belanda.
Martha adalah wanita pemberani yang mengangkat tombak untuk melawan belanda, seperti yang diturunkan ahli warisnya Merry Lekahena berdasarkan kisah turun temurun yang diceritakan oleh orang tuanya Martha di besarkan oleh ayahnya yang merupakan pemimpin perang saat ibunya meninggal ketia ia masih belita. Martha saat kecil terkenal keras dan pemberani. Ia selalu mengikuti kemana ayahnya pergi,termasuk ikut dalam rapat rencana perang sehingga ia mampu mengatur perang dan membuat kubu kubu pertahanan perang. Martha juga di kenal sosok pejuang remaja yang sangat unik karena saat ia remaja sudah mampu mengikuti perang secara langsung yaitu pada saat melawan kolonial belanda dalam perang pattimura pada tahun 1817.
Di kalangan masyarakat, di kalangan musuh dia sangat di kenal pemberani dan konsekwen terhadap perjuangannya dan cita cita perjuangannya sikap keras kepala kuat dan pemberani lah yang ia tegakkan sehingga ia bisa sejajar dengan laki laki. Ia bahkan tidak mau menerima ampunan dari belanda terhadap belanda meskipun ia sangat bersedih
Tanggal 11 Oktober 1817 pasukan Belanda dibawah pimpinan Richemont bergerak ke Ulath, namun berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat. Dengan kekuatan 100 orang prajurit, Meyer beserta Richemont kembali ke Ulath. Pertempuran berkobar kembali, korban berjatuhan di kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya bertahan di tanjakan Negeri Ouw. Dari segala penjuru pasukan rakyat mengepung, sorak sorai pasukan bercakalele, teriakan yang menggigilkan memecah udara dan membuat bulu roma berdiri.[2]
Di tengah keganasan pertempuran itu muncul seorang gadis remaja bercakalele menantang peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Martha Christina Tiahahu. Dengan mendampingi sang Ayah dan memberikan kobaran semangat kepada pasukan Nusalaut untuk menghancurkan musuh, jujaro itu telah memberi semangat kepada kaum perempuan dari Ulath dan Ouw untuk turut mendampingi kaum laki-laki di medan pertempuran. Baru di medan ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik yang turut bertempur. Pertempuran semakin sengit ketika sebuah peluru pasukan rakyat mengenai leher Meyer, Vermeulen Kringer mengambil alih komando setelah Meyer diangkat ke atas kapal Eversten.
Tanggal 12 Oktober 1817 Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum terhadap pasukan rakyat, ketika pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini dengan lemparan batu, para Opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan rakyat telah habis. Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali melancarkan serangan dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di hutan, seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan.
Martha Christina dan sang Ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan dari Jasirah Tenggara bertemu dengan Kapitan Pattimura dan tawanan lainnya. Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat muda, Buyskes membebaskan Martha Christina Tiahahu dari hukuman, namun sang Ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap dijatuhi hukuman mati. Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina Tiahahu memandang sekitar pasukan Belanda dengan tatapan sayu namun kuat yang menandakan keharuan mendalam terhadap sang Ayah. Tiba-tiba Martha Christina Tiahahu merebahkan diri di depan Buyskes memohonkan ampun bagi sang ayah yang sudah tua, namun semua itu sia-sia.
Tanggal 16 Oktober 1817 Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah dibawa ke Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwijk sambil menunggu pelaksanaan eksekusi mati bagi ayahnya. Martha Christina Tiahahu mendampingi sang Ayah pada waktu memasuki tempat eksekusi, kemudian Martha Christina Tiahahu dibawa kembali ke dalam benteng Beverwijk dan tinggal bersama guru Soselissa. Sepeninggal ayahnya Martha Christina Tiahahu masuk ke dalam hutan dan berkeliaran seperti orang kehilangan akal. Hal ini membuat kesehatannya terganggu. Dalam suatu Operasi Pembersihan pada bulan Desember 1817 Martha Christina Tiahahu beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan kapal Eversten ke Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi. Selama di atas kapal ini kondisi kesehatan Martha Christina Tiahahu semakin memburuk, ia menolak makan dan pengobatan. Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, selepas Tanjung Alang, Martha Christina Tiahahu menghembuskan nafas yang terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969, Martha Christina Tiahahu secara resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional. Dan tanggal 2 Januari menjadi Hari Martha Christina. Pada hari itu, ribuan kelopak bunga dilemparkan ke Laut Banda dalam sebuah upacara resmi yang diselenggarakan setiap tahun untuk merayakan keberanian dalam perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia[3]
Monumennya pun dibangun menghadap ke laut Banda di desa kelahirannya yang diresmikan oleh Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu pada 2 Januari 2008 dalam peringatan Hari Martha Christina yang ke-190 tahun. Sedangkan di Ambon, monumen Martha Christina tegar berdiri dengan sebatang tombak di tangan Bukit Karang Panjang menghadap ke Teluk Ambon, seakan-akan menyiratkan tekadnya menjaga keutuhan Maluku sebagai daerah kaya berbagai potensi sumber daya alam sebagai bagian kekuatan masa depan untuk kesejahteraan masyarakat. Tertanam di dasar monumen untuk pejuang kemerdekaan wanita berbunyi : " Martha C. Tijahahu , mutiara Nusa Laut atau Pulau  , pahlawan nasional RI , yang berjuang untuk mengusir penjajah Belanda dari Maluku , jatuh pada 2 januari 1818. Meskipun Christina ditampilkan membawa tombak di kedua monumen, dalam pertempuran melawan Belanda, legenda mengatakan bahwa dia benar-benar melemparkan batu ke tentara Belanda ketika pasukannya kehabisan amunisi.[4]
Karena keberanian besarnya dalam melawan senjata api Belanda hanya dengan batu, masyarakat Maluku menyebutnya seorang wanita kabaressi atau berani. Namanya juga digunakan sebagai jalan di Karangpanjang sementara kapal perang Indonesia telah dibaptis dengan nama KRI Martha Christina Tiahahu. Namanya diabadikan menjadi nama KRI Martha Tiahahu. Sebuah monumen dari bahan perunggu juga dibangun di bukit Karangpanjang Ambon. Dari ketinggian itu, Martha berdiri menghadap ke Teluk Ambon nan elok. Tatapan matanya jauh ke depan. Banyak orang datang berkunjung dan mengabadikan monumen ini. Namun tidak banyak yang ingat, Martha adalah putri raja, bertarung pada usia 17 tahun, dan menjadi pelaku aksi mogok makan pertama sepanjang sejarah Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Didik adi sukmoto, kisah 124 pahlawan dan pejuang nusantara,2006, pustaka widyiatama: jakarta.
[2].Sardiman. 2007. Sejarah program ilmu sosial.yudistira: jakarta
[3]Nogroho Notosusanto.2008. sejarah kebangkitan Nasional V. Balai pustaka: Jakarta.
[4]Soedarmanta, J.B., (2007). Jejak-jejak pahlawan: perekat kesatuan bangsa Indonesia, Grasindo.

No comments:

Post a Comment