PERANG HINDIA BELANDA DAN JEPANG

Anisa Mutiara Priyadi/SI3

Rencana peperangan Jepang terdiri dari beberapa fase ; pertama, perebutan Nanyo yang kaya, atau daerah Selatan termasuk Hindia Belanda, Filipina, Malaya, Birma, dan lain-lain (seluruh Asia Tenggara) dan pulau-pulau lain dari Pasifik sebagai benteng yangan mengamankan daerah kekuasaan Jepang. Kedua, adalah memperkuat daerah ini dan mengkonsolidasikan kekuatannya. Melalui posisi kekuatan ini dengan benteng pulau-pulau
yang diduduki, Jepang mengharapkan bahwa dapat memaksa Amerika Serikat yang capai dengan peperangan untuk mengadakan suatu perdamaian. Mereka sama sekali salah perhitungan dalam hal ini, sebab sesudah Pearl Harbour kapasitas produksi industri militer Amerika Serikat masih tetap besar dan dengan mudah dapat menutup kerugian-kerugian yang diderita dalam bulan-bulan pertama dari Perang Pasifik.
Hindia Belanda tentu mengetahui tentang rencana-rencana Jepang. Hubungannya dengan Jepang dan perundingan-perundingan van Mook-Kobayashi serta juga laporan-laporan yang suram dari Jenderal Pabst duta besar Belanda di Tokyo, tentang maksud-maksud Jepang terhadap Hindia Belanda, cukup menyadarkan Hindia Belanda akan ancaman-ancaman dan rencana-rencana Jepang. Ketika berita tentang pengeboman atas Pearl Harbour diterima pada pukul 04.00 tanggal 8 Desember, segera diadakan konsultasi dengan kabinet Belanda di London untuk menentukan sikap. Pada pukul 06.00 dikeluarkan perintah supaya semua kapal dagang mencari perlindungan di tempat yang aman. Pada pukul 06.30 tanggal 8 Desember tersebut Gubernur Jenderal Jhr. A.W.L Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer memperdengarkan suaranya melalui corong radio dan mengumumkan suatu proklamasi perang dengan Jepang. [1]
Pada tanggal 1 Januari 1942 Jepang menawarkan suatu persetujuan damai pada Hindia Belanda, sambil mengabaikan pernyataan-pernyataan sebelumnya dan permusuhan-permusuhan yang sudah timbul. Hindia Belanda menjawab bahwa sikapnya tidak berubah dan menganggap dirinya dalam keadaan perang dengan Jepang. Pada tanggal 1 Januari, Tokyo lalu menyatakan perang terhadap Kerajaan Belanda dan sekarang terpaksa memulai tindakan-tindakan permusuhan terhadapnya. Angkatan perang Jepang pada waktu itu di ambang pintu kepulauan Hindia Belanda yaitu di Pelabuhan minyak Tarakan. Pertempuran Tarakan terjadi pada tanggal 11-12 Januari 1942. Meskipun Tarakan hanya pulau berawa-rawa kecil di Kalimantan timur laut di Hindia Belanda, tetapi terdapat 700 sumur minyak, penyulingan minyak dan lapangan udara, yang merupakan tujuan utama Kekaisaran Jepang dalam Perang Pasifik.[3]
Sasaran utama serbuan Jepang di Hindia Belanda adalah pengeboran minyak di Tarakan, Balikpapan, dan Palembang. Setelah menduduki ladang minyak di Tarakan dalam Pertempuran Tarakan, angkatan Jepang di bawah pimpinan MayJen Shizuo Sakaguchi dari Detasemen Sakaguchi bergerak maju ke Balikpapan dengan harapan ladang minyak itu belum hancur. Gerakan maju itu dimungkinkan setelah pertahanan Hindia Belanda di utara Pulau Sulawesi berhasil dilumpuhkan pada tanggal 26 Desember 1941. Kehancuran instansi pengeboran minyak di Tarakan menjadi masalah besar bagi Jepang. Untuk memastikan agar tindakan itu tidak terjadi, dua orang perwira Belanda dikirim ke Balikpapan dengan pesan peringatan bahwa seluruh prajurit dan kalangan sipil akan dibunuh jika Jepang tidak memperoleh instansi pertambangan dikota itu dalam keadaan utuh. Sasaran selanjutnya adalah Palembang, sumber minyak mentah yang menghasilkan setengah produksi seluruh Hindia Belanda. Jepang berusaha mencegah sabotase dengan cara melancarkan serangan mendadak pasukan komando.[2]
Dengan jatuhnya Palembang itu sebagai  sumber minyak, maka terbukalah Pulau Jawa bagi tentara Jepang. Di dalam menghadapi ofensif Jepang, pernah dibentuk suatu komando gabungan oleh pihak Serikat, yakni yang disebut ABDACOM (American British Dutch Australian Command) yang markas besarnya ada di Lembang, dekat Bandung dengan panglimanya Jenderal  H. Ter Poorten diangkat sebagai panglima tentara Hindia Belanda (KNIL). Pada akhir Februari 1942 Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh telah mengungsi ke Bandung disertai oleh pejabat-pejabat tinggi pemerintah. Pada masa itu Hotel Homman dan Preanger penuh dengan pejabat-pejabat tinggi Hindia Belanda.
Tanggal 1 Maret 1942, tentara ke-16 Jepang berhasil mendarat di 3 tempat sekaligus yaitu di Teluk Banten, di Eretan Wetan (Jawa Barat), dan di Kragan (Jawa Tengah). Jepang telah mendaratkan satu detasemen yang dipimpin oleh Kolonel Toshinori Shoji dengan kekuatan 5000 orang di Eretan, sebelah Barat Cirebon. Pada hari yang sama, Kolonel Shoji telah berhasil menduduki Subang. Momentum itu mereka manfaatkan dengan terus menerobos ke lapangan terbang Kalijati, 40 Km dari Bandung. Setelah pertempuran singkat, pasukan-pasukan Jepang merebut lapangan terbang tersebut. Tanggal 2 Maret 1942 tentara Hindia Belanda berusaha merebut Subang kembali, tetapi ternyata mereka tidak berhasil. Serangan balasan kedua atas Subang dicoba pada tanggal 3 Maret 1942 dan sekali lagi, tentara Hindia Belanda berhasil dipukul mundur. Tanggal 4 Maret 1942 untuk terakhir kalinya tentara Hindia Belanda mengadakan serangan dalam usaha merebut Kalijati dan mengalami kegagalan. Tanggal 5 Maret 1942 ibu kota Batavia (Jakarta) diumumkan sebagai 'Kota Terbuka' yang berarti bahwa kota itu tidak akan dipertahankan oleh pihak Belanda. Segera setelah jatuhnya kota Batavia ke tangan mereka, tentara ekspedisi Jepang langsung bergerak ke selatan dan berhasil menduduki Buitenzorg (Bogor).  Pada tanggal yang sama, tentara Jepang bergerak dari Kalijati untuk menyerbu Bandung dari arah utara. Mula-mula digempurnya pertahanan di Ciater, sehingga tentara Hindia Belanda mundur ke Lembang dan menjadikan kota tersebut sebagai pertahanan terakhir. Tetapi tempat ini pun tidak berhasil dipertahankan sehingga pada tanggal 7 Maret 1942 dikuasai oleh tentara Jepang.[4]
Tak lama sesudah berhasil didudukinya posisi tentara KNIL di Lembang, maka pada tanggal 7 Maret 1942, psukan-pasukan Belanda di sekitar Bandung meminta penyerahan lokal dari pihak Belanda ini kepada Jenderal Imamura tetapi tuntutannya adalah penyerahan total daripada semua pasukan Serikat di Jawa (dan bagian Indonesia lainnya). Jika pihak Belanda tidak mengindahkan ultimatum Jepang, maka Kota Bandung akan di bom dari udara Jenderal Imamura pun mengajukan tuntutan lainnya agar Gubernur Jenderal Belanda turut dalam perundingan di Kalijati yang diadakan selambat-lambatnya pada hari berikutnya. Jika tuntutan ini dilanggar, pemboman atas Kota Bandung dari udara akan segera dilaksanakan. Akhirnya pihak Belanda memenuhi tuntutan Jepang dan keesokan harinya, baik Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer maupun Panglima Tentara Hindia Belanda serta beebrapa pejabat tinggi militer dan seorang penerjemah pergi ke Kalijati. Di sana mereka kemudian berhadapan dengan Letnan Jenderal Imamura yang dating dari Batavia (Jakarta). Hasil pertemuan antara kedua belah pihak adalah kapitulasi tanpa syarat Angkatan Perang Hindia Belanda kepada Jepang.
Dengan penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jenderal H. Terpoorten, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda atas nama Angkutan Perang Serikat di Indonesia kepada tentara ekspedisi Jepang di bawah Pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura pada tanggal 8 Maret 1942, berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia dan dengan resmi mulailah kekuatan pendudukan Jepang di Indonesia. [4]
Perang Hindia Belanda dan Jepang ini merupakan salah satu penyebab jatuhnya Hindia Belanda. Dengan jatuhnya Hindia Belanda, maka kemenangan Kekaisaran Jepang semakin sempurna. Rintangan Malaya telah dihancurkan, dan pintu gerbang menuju Samudra Hindia telah terbuka. Armada sekutu di Asia Pasifik telah dihancurkan. Dalam waktu tiga bulan saja, Jepang telah menaklukkan Asia Tenggara dan menguasai sumber daya alam yang begitu kaya di daerah selatan.
Bagi Belanda, kekalahan yang dideritanya membuat mereka kehilangan wilayah jajahan yang paling besar dan menguntungkan. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila dalam pemeo orang Belanda masa itu terkenal ucapan. "Indie verloren, ramspoed geboren" yang berarti Hindia Belanda hilang, bencana pun datang, diubah menjadi kalimat lain sebagai berikut, "Indie verloren, Indonesia gaboren" atau Hindia Belanda hilang, Indonesia pun lahir. Hal ini baru terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945, dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yaitu seletah tiga setengah tahun pendudukan militer Jepang yang brutal. Dengan demikian, berakhirlah masa penjajahan dalam sejarah bangsa Indonesia.[2]
DAFTAR PUSTAKA :
[1] Onghokham,1987,Runtuhnya Hindia Belanda,Jakarta : Penerbit PT Gramedia
[2] Adi Sudirman,2014,Sejarah Lengkap Indonesia,Jogjakarta : Diva Press
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Tarakan
[4] http://sejarah.kompasiana.com/2012/12/09/kronologi-masuknya-jepang-ke-indonesia

No comments:

Post a Comment