PERUBAHAN POLITIK INDONESIA PASCA DEKRIT (DEMOKRASI TERPIMPIN)

IRMA LINDA /SI V/A

Lima hari setelah dekrit presiden, kabinet karya dibubarkan dan pada 9 juli 1959 diganti dengan kabinet kerja. Dalam kabinet ini presiden Soekarno bertindak selaku perdana menteri sedangkan ir. Djuanda menjadi menteri pertama dengan dua orang wakilnya dr. Leimena dan dr. Negeri pembebasan irian barat dan melengkapi sandang pangan rakyat
Era Demokrasi Terpimpin merupakan awal dari kediktatoran yang terjadi di Indonesia yaitu pasca
Dekrit 5 Juli 1959,kedudukan perisiden yang sebelumnya hanya merupakan jabatan kenegaraan yang bersifat simbolis kembali menjadi sangat kuat dan dominan berbeda dengan demokrasi liberal, demokrasi terpimpin merupakan sistem pemerintah dimana kekuasaan negara dan pemerintahaan sepenuhnya berada ditangan presiden,presiden dalam hal ini memiliki kekuasaan yang sangat besar. Sebagai tindak lanjut keluarnya dekrit presiden Soekarno mermaksud melakukan penataan bidang politik,ekonomi,sosial dan pertahanan keamanan. 20 Agustus 1959 presiden menyampaikan surat No. 2262/H/59 kepada DPR yang berisi kewenangan presiden untuk memberlakukan "peraturan negara baru".[1]
Yang mana membuat peraturan baru menurut UUD 1945 yaitu "peraturan negara baru" yang berisi.
1.      Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
2.      Peraturan Presiden
3.      Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Peraturan Presiden
4.      Keputusan Presiden,Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri
Atas dasar peraturan tersebut presiden mulai melakukan langkah-langkah politik berupa:
1.      Pembubaran Kabinet Parlementer (PM Djuanda) dan sebaliknya membentuk kabinet Presidensil (langsung dipimpin Presiden Soekarno) yang dinamai Kabinet Kerja
2.      Pembentukan Front Nasional yang bertujuan menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan yang menyukseskan pembangunan, Front Nasional ini dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno yang mana pembentukan Front Nasional ini didasarkan pada Penpres No. 13 Tahun 1959 pada tanggal 31 Desember 1959
3.      Pembentukan lembaga negara seperti MPRS dan DPAS, pe,bentukan MPRS didasarkan pada Penpres No. 2 Tahun 1959 yang mana keanggotaan MPRS ini terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat sejumlah 61 orang ditampah dengan 94 utusan-utusan daerah dan 200 orang wakil golongan,
Ketua              : Chairul Shaleh
Wakil Ketua    : Mr. Ali Sastroamidjojo, K.H. Idham Khalid, D.N. adit dan Kolonel Wiluyo Puspoyudo
Menurut penetapan presiden No. 12 Tahun 1959 tugas MPRS terbatas pada penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), hal ini merupakan bukti bahwa presiden berusaha membatasi kewenangan MPRS disamping itu juga pimpinan MPRS ditunjuk oleh presiden, mereka adalah orang-para menteri yang memimpin dapertemen jadi pemimpin MPRS dalam sehari-harinya adalah pembantu presiden dengan demikian MPRS bukan lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945.
MPRS telah melaksanakan tiga kali sidang di Gedung Merdeka Bandung
a.       Sidang Umum I (10 November-7 Desember 1960) yang menetapkan
·         Ketetapan MPRS No. 1/MPRS 1960 tentang manifestor politik RI sebagai garis-garis besar haluan negara
·         Ketetapan MPRS No. II/MPRS 1960 tentang garis-garis pola pembangunan nasional semesta berencana tahapan pertama (1961-1969)
b.      Sidang Umum II (15-22 Mei 1963) diantaranya menetapkan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan presiden Soekarno/Mandataris MPRS sebagai Presiden Seumur Hidup.
c.       Sidang Umum III (11-16 Apir 1965) di antaranya menghasilkan ketetapan No. V/MPRS/1965 tentang pidato presiden Soekarno yang berjudul "berdiri di atas kaki sendiri" sebagai pedoman revolusi dan politik luar negeri Indonesia.
Setelah terbentuknya kabinet 22 juli 1959 Soekarno membentuk dewan pertimbangan agung (DPA) yang dikuasai oleh presiden dengan penpres no 3 tahun 1959 dengan 45 orang anggota yang terdiri dari 12 orang wakil golongan politik, 8 orang utusan / wakil daerah, 24 orang wakil golongan karya, dan 1 orang wakil ketua. Anggota DPA diangkat dan diberhentikan oleh presiden, dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah (pasal 16 Ayat 2 UUD 1945) sebelum memangku jabatan wakil ketua dan anggota DPA memangkat sumpah dihadapan presiden dan DPA yang dilantik oleh presiden pada 15 agustus 1959. Pada acara peringatan hari proklamasi 17 agustus 1959, soekarno mengucapkan pidato yang bersejarah berjudul "penemuan kembali revolusi kita". Pidato tersebut merupakan penjelaskan dan pertanggung jawanban peresiden atas  dekrit 5 juli 1959 serta garis kebijakan presiden soekarno dalam mengenalkan sistem demokrasi terpimpin. Dalam sidangnya september 1959 DPA dengan  suara bulat mengusulkan kepada pemerintah agar pidato presiden soekartno 17 agustus 1959 berjudul "penemuan kembali revolusi kita" tersebut dijadikan garis-garis besar haluan negara.
4.      Pada 15 Agustus 1959 presiden melantik Mr. Moh. Yamin sebagai ketua Dewan Perancang Nasional dan Sri Sultan Hamangkubuwono IX sebagi ketua Badan Pengawas Kegiatan Aparatur.
5.      Pada 5 Maret 1960 presiden membubarkan DPR hasil dari pemilu 1955 karena telah terjadi perselisihan pendapat antara pemerintah dan DPR tentang penetapan APBN  tahun anggaran 1961, sebagai gantinya presiden membentuk DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) pada 24 Juni 1960, pembentukan dari DPR-GR ini didasarkan pada penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960 yang mana keanggotaannya terdiri dari wakil-wakil golongan politik, golongan karya, anggota melliter sehingga susunannya tidak lagi didasarkan pada perimbangan kekuatan partai-parti yang dihasilkan oleh pemilu akan tetapi dengan komposisi "gotong royong" sebagai dari demokrasi terpimpin dengan jumlah terdiri atas 283 orang dengan rincian 153 orang mewakili partai politik dan 130 orang mewakili golonganan-golongan. Tugas dari DPR-GR adalah
a.       Melaksanakan manifestor politik
b.      Mewujudkan amanat penderitaan rakyat (Ampera)
c.       Melaksanakan demokrasi terpimpin
Berdasarkan Penetapan Presiden No. 32 Tahun 1964 DPR-GR adalah pembantu presiden menurut bidangnya masing-masing, ketua dan wakil ketua DPR-GR berkewajiban melaporkan kepada presiden pada waktu tertentu (sesuai dengan kebutuhan) yang mana ketentuan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pasal 5,20, dan 21 UUD  1945.[2]
6.      Pembatasan partai-partai politik
Dalam rangka memperkuat badan eksekutif dimulailah beberapa ikhtiar untuk menyederahanakan sisitem partai dengan mengurangi jumlah partai melalui Prepres No. 7/1959, yang mana maklumat pemerintah 3 November 1945 yang menganjurkan pembentukan partai-partai dicabut dan ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk diakui oleh pemerintah. Partai yang kemudian yang dinyatakan memenuhi syrat adalah PKI,PNI,NU,Partai Katolik, Parkindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, Partai Islam Perti, sedangkan beberapa partai lain dinyatakan tidak memenuhi syrat, dan dengan dibubarkannya Masyumi dan PSI pada 1960 sehingga yang tersisa tertinggal sepuluh (10) partai politik saja.[3]
7.      Deklarasi ajaran Nasakom dan Revolusi
Dalam upaya mewujudkan persatuan Indonesia maka Presiden Soekarno kemudian mendeklarasikan prinsip Nasakom(Nasionalis, Agama dan Komunis) yang dibentuk pada tahun 1960 dan disebut juga Front Nasional, semua partai termaksud PKI terwakili didalamnya, begitu pula kelompok-kelompok yang sebelumnya kurang mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses membentuk keputusan seperti golongan fungsional dan ABRI. Melalui kehadiran dalam Front Nasional yang berdasarkan Nasakom, PKI berhasil mengembangkan sayapnya dan memengaruhi hampir semua aspek kehidupan politik.[4]
 Menurut peresiden dengan disatukannya tiga golongan tersebut bangsa Indonesia akan tumbuh sebagai bangsa yang kuat dan bersatu, sementara itu untuk mendukung dan untuk memperkuat upaya bagi pembebasan Irian Barat maka presiden Soekarno kemudian mendeklarasikan prinsip Resopim (Revolusi, Sosialisme Indonesia dan Pimpinan Nasional). Hal ini dikemukakan oleh presiden dalam upacara peringatan 17 Agustus 1961 yang mana maksud dari Resopim itu sendiri adalah untuk mewujudkan sosialisme harus dilakukan dengan revolusi yang dikendalikan oleh orang pemimpin nasional yaitu Pemimpin Besar Revolusi (PBR), berdasarkan prinsip tersebut maka seluruh pejabat negara termasuk pimpinan lembaga tinggi dan tertinggi negara diberi pangkat menteri sehingga kedudukannya berada dibawah presiden.
Usul DPA itu diterima baik oleh presiden soekarno (3). Perumusan DPA atas pidato tersebut menjadi garis-garis besar haluan negara berjudul " manivesto politik republik indonesia"  disingkat MANIPOL. Selanjutnya dengan penetapan presiden no 2 tahun 1959 tanggal 31 desember 1959 dibentuk majelis permusyawaratan rakyat sementara (MPRS), yang angota-angotanya ditunjuk dan diangkat oleh presiden dengan beberapa persayaratan sebagai berikut
1.      Setuju kembali ke UUD 1945
2.      Setia kepada pejuang RI
3.      Setuju dengan manipesto politik
NOTES  
1.      Umbulharjo, Sejarah, Ambara, Yogyakarta: 2010, hlm. 93.
2.      Umbulharjo, Sejarah, Ambarawa, Yogyakarta:2010, hlm 95.
3.      M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surat (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 150
4.      R.Wiyono, Oraganisasi Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hlm. 29-30.
DAFTAR PUSTAKA
1.      Budiardjo, Miriam, Prof, Dasar-Dasar Politik, Edisi Revisi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jarakta: 2009.
2.      Umbulharjo, Sejarah, Ambara, Yogyakarta:2010.
3.      M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surat (Jakarta: Rajawali, 1983).
4.      R. Wilayono, Organisasi Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni, 1982).

No comments:

Post a Comment