pelaksanaa repelita III

Ayu Aryanti

 

Pendahuluan

Pembangunan adalah proses perubahan yang terus menerus, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju tujuan yang diinginkan,dalam pembangunan nasional Indonesia tujuan yang ingin dicapai adalah menjadi Indonesia yang makmur dan sejahtera sesuai dengan pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasional adalah Trilogi pembangunan dan selapan jalur pemerataan. Inri dari kedua pedoman itu adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasan politik dan ekonomi yang stabil.

            Adapun isi trilogy pembangunan adalah sebagai beriku :

a.       Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sossial bagi seluruh rakyat Indonesia.

b.      Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.

c.       Stabilitas nasioanal yang sehat dan dinamis.[1]

Dalam pelaksanaannya, berdasarkan pola dasar pembangunan nasioanal disusun pola umum pembangunan jangka panjang dan jangka pendek, yang merupakan arah dan strategi pembangunan jangka panjang meliputi waktu 25-30 tahun. Sedangkan pembangunan jangka pendek mencakup periode 5 tahun atau yang sering di sebut dengan PELITA. Pelita merupaan penjabaran lebh rinci dari pembangunan jangka panjang. Sehingga setiap pelita saling berkaitan atau beresinambungan.

REPELITA KE III DAN PELAKSANAANYA

Repelita III dimulai pada tanggal 1 april 1979-31 maret 1984. Seperti pada Pelita I dan Pelita II, pembangunan pada Pelita III masih berlandasan pada trilogy pembangunan dengan penekanan pada segi pemerataan yang dikenal dengan delapan jalur pemerataan, yaitu:

1)      Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan perumahan.

2)      Pemerataan kesempatan memperolah pendidikan dan pelayanan kesehatan.

3)      Pemerataan pembagian pemdapatan.

4)      Pemerataan kesempatan kerja

5)      Pemerataan kesempatan berusaha

6)      Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan.

7)      Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air.

8)      Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.[2]

Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat erat kaitannya dengan masalah produksi pangan. Produksi pangan yang terpenting yakni beras yang di perkirakan akan meningkat dari 17,5 juta ton dalam tahun 1978 menjadi 20,6 juta ton dalam tahun1983. Untuk mencapai target tersebut, diusahakan agar persediaan dan konsumsi bahan makanan terus meningkat dan semakin beraneka ragam, yang dilakukn dengan cara meningkatkan kegiatan intensifikasi, penganekaragaman dan perluasan kegiatan pertanian.

Dibidang sandang, diperkirakan pada tahun 1983/1984 produksi dan konsumsi akan mencapai masing0masing 2.500 juta meter atau 16 meter perkapita dan 2.200 juta meter atau 14 meter per kapita.

Pembangunan perumahan rakyat dan perbaikan kampong ditujukan untuk meningkatkan mutu kehidupan golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Usaha pembangunan perumahan melalui perumnas di daerah permukiman kota akan terus ditingkatkan dan diperluas ke berbagai kota. Melalui Bank Tabungan Negara, pembangunan perumahan rakyat akan membangun lebih kurang 30.000 rumah.

Di bidang pendidikan, titik berat program diletakkan pada perluasan pendidikan dasar serta peningkatan pendidikan teknik dan kejuruan pada semua tingkat. Kesempatan belajar pada sekolah dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) , pada tahun 1983/1984 akan terbuka untuk lebih kurang 22 juta anak pada pendidikan dasar yang berusia di bawah 7 tahun dan diatas 12 tahun. Sementara itu, sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) darahkan agar dapat menampung 85% lulusan SD, sedangkan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) menampung 50% lulusan SLTP.

Usaha perbaikan kesehatan terutama ditujukan untuk meningkatkan pemberantasan penyakit manular, penyakit masyarkat, peningkatan gizi, peningkatan sanitasi lingkungan, perlindungan terhadap bahaya narkotika, penyediaan tenaga medis dan paramedis. Selain itu, akan ditingkatkan pada pembangunan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di kota-kota kecamatan dan puskesmas pembantu di desa-desa.

Selama Repelita III, kesempatan kerja akan dperluas antara lain melalui Proyek Padat Karya Guna Baru dengan sasaran utama memperluas kesempatan kerja produktif dalam pembangunan atau rehabilitasi sarana ekonomi. Proyek-proyek seperti ini akan dilasanakan di kecamatan-kecamatan yang tergolong miskin, penduduk yang relative padan dan sering mengalami bahaya kekeringan dan banjir. Proyek ini akan meliputi sekurang-kurangnya 500 kecamatan setiap tahun. Penyebaran dan pemanfaatan tenaga kerja muda terdidik ke perdesaan melalui  BUTSI akan tetap pula ditingkatkan. Dalam rangka BUTSI ini, dalam Repelita III akan dikerahkan 36.500 tenaga sarjana dan sarjana muda. [3]

Salah satu usaha untuk mengatasi masalah kependudukan dan kesempatan kerja ialah meningkatkan program transmigrasi. Salama Repelita III akan ditransmigrasikan 500.000 kepala keluarga dan untuk itu akan  dibangun 250 daerah permukiman.

Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan perluasan dunia usaha swasta nasional mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Perluasan itu terutama ditujukan terhadap pengusaha kecil golongan ekonomi lemah dengan cara memberikan kredit yang bersyarat ringan dan bantuan keahlian. Selain itu, akan diberikan pula bantuan pemasaran, antara lain dengan jalan memberikan prioritas untuk memperoleh tempat penjualan di pasar-pasar juga di toko-toko.

Pemerataan pembangunan diseluruh wilayah tanah air mempunyai sasaran, antara lain lebih mnyerasikan pembangunan sektoral dengan pembangunan daerah. Usaha itu juga ditujukan untuk lebih menyerasikan perumbuhan antardaerah, yang akan dicapai antara lain melalui penyediaan jumlah minimum bantuan pembangunan daerah tingkat I daerah tingkat II. Pada Repelita III diutamakan pula pembangunan daerah-daerah yang terbelakang, daerah-daerah minus, dan daerah-daerah yang padat penduduknya.

Dalam rangka menunjang pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh daerah, berbagai proyek perhubungan akan ditingkatkan baik fasilitas maupun pelayanannya. Proyek-proyek yang dimaksud antara lain adlah proyek jalan dan jembatan. Untuk itu, akan dilaksanakan Inpres Prasaran Jalan yang lebih banyak diarahkan untuk jalan-jalan kabupaten di luar jawa. Di daerah permukiman transmigrasi akan dibangun jalan sepanjang 40.000 kolimeter. Segi lain yang juga mendapat perhatian ialah penerbangan perintis. Dari 75 lokasi Bandar udara perintis pada akhir Repelita III akan ditingkatkan menjadi 104 lokasi. Jumlah pesawat ditambah dan frekuensi pernerbangan ditingkatkan pula. Bidang perhubungan laut dan perhubungan darat pun mengalami peningkatan dan hubungan antara satu daerah dengan daerah lain semakin lancar, dan dengan demikian dapai dicapai pemerataan penyebaan pembangunan.

Segi lain juga mendapat perhatian ialah penerbangan pemerataan, tetapi hal itu tidak berartu bahwa pembangunan bidang lain diabaikan sama sekali. Di bidang ekoni akan diusahakan pertumbungan sebesar 6,5% setahun. Dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2%, pendapat rill per kapita diharapkan naik 24% dalam waktu lima tahun. Gambaran singkat perkiraan pertumbuhan ekonomi menurut sector adlah sebagai berikut:[4]

a.       Pertanian                     : 3,5%                          d. bangunan                : 9%

b.      Industry                      : 11%                           e. pengangkutan          : 10%

c.       Pertambangan             : 4%                             f. lain-lain                    : 8%

Pada permulaan oil boom d akhir 1974, perekonomian Indonesia mengalami peningkatan yang pesat dengan naiknya harga migas di pasar Internasional. Situasi tersebut menyebabkan penerimaan pemerintah dan devisa melonjak sehingga Negara mengalami kenaikan dana yang dapat mempercepat pencapaian sasaran-saaran pembangunan. Sebagai dampaknya pemerintah dpat membiayai berbagai proyek pembangunan , termasuk mengurangi kadar ketergantungan Indonesia pada berbagai jenis Impor. Peningkatan penerimaan pemerintah dan devisa menyebabkan pertumbuhan secara pesat terhadapap pertambahan likuiditas perekonomian. Hal ini memengaruhi perbankan yang dapat meningkatkan penerimaan dana dari masyarakat. Namun, peningkatan perolehan dana perbankan yang disalurkan bagi kredit untuk dunia usaha dapat membahayakan stabilitas moneter. Pada saat itu hal tersebut telah menunjukkan gejala-gejala kurang sehat, yaitu dengan tercerminnya laju inflasi sebesar 27 persen selama tahun 1973.

Selanjutnya pemerintah mengeluarkn kebijakan April 1974 yang mengharuskan Bank Indonesia mengikuti dan menganalisis secara terus-menerus serta mendalami berbagai variable, seperti neraca  pembayaran, dampak moneter dari APBN, serta laji inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi guna menentukan apakah program moneter perlu disesuaikan dalam satu tahun anggaran. Kebijakan tersebut berhasil menurunkan laju inflasi yang wajar sehingga pemerintah dapat meneruskkan kegiatan pembangunan sesuai sasaran-sasaran yang telah ditentukan. Rezeki minyak ini membuka peluang bagi Indonesia untuk melakukan investasi di bidang industry, pertanian, angkutan, infrastruksi dan sebagainya.

Sebagian proyek investasi itu, terutama proyek-proyek padat modal dan teknologi milik Pertamina, ditenderkan secara internasional. Pada awal 1980-an menurut Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) Widjojo Nitisastro banyak perusahaan luar negeri berminat mengikuti tender proyek, apalagi waktu itu Negara industry maju sedang mengalami resesi ekonomi akibat krisis minyak. Bisnis Negara-negara tersebut sedang mengalami kelesuan ekonomi sehingga semua perhatian tertuju ke Negara pengekspor minyak, seperti Arab Saudi, Irak, Iran dan juga Indonesia yang sedang mengalami boom. Pada tahun 1981 Indonesia menjadi penghasil gas alam cair terbesar di dunia. Negara-negara tersebut sedang giat melaksanakan proyek-proyek besar di sector perminyakan dan infrastruktur ekonomi.

Walaupun demikian, sector migas tidak dapat diandalkan sebagai primadona secara tereus-meneru. Penurunan harga migas dan resesi dunia mengakibatkan penurunan penerimaan pemerintah dan devisa Negara dalam jumlak signifikan serta merosotnya kegiatan ekonomi di dalam negeri. Laju pertumbuhan ekonomi menurun menjadi 2,3 persen pada tahun 1982. Ekspor nonmigas yang diharapkan dapat mengimbangi penurunan penerimaan devisa, ternyata kurang dapat bersaing. Agar kegiatan pembangunan terus dapat berlangsung, pemerintah mengeluarkan Pakjun 1983 (Paket Juni). Paket ini merupakan rangkaian pertama dan langkah-langkah deregulasi di berbagai bidang, seperti keuangan dan perdagangan, yang mendapat sambutan baik di kalangan dunia usaha.

Pergerakan dana masyarakat oleh perbankan meningkat dengan pesat, demikian pula penyaluran sebagai kredit kepada dunia usaha. Pertambahan kredit banyak digunakan untuk membiayai kegiatan ekspor nonmigas yang waktu itu mengalami hambatan-hambatan yang berkaitan dengan ekonomi biaya tinggi. Kredit yang berkembang secara pesat adalah salah satu factor penting dalam mendorong kegiatan dalam negeri yang tercermin pada naiknya laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 1982 hanya 2,3 persen menjadi rata-rata 5 persen pada tahun 1988 peran ekspor nonmigas meningkatkan menjadi 60 persen. Selain itu, kondisi ini menunjukan pula adanya perubahan yang menonjol dalam komposisi ekspor nonmigas, yaitu mengarahkan dengan cepat pada hasil perindustrian.

Suatu kondisi fenomenal waktu itu adalah walaupun kegiatan ekonomi dan ekspor berkembang dengan pesat, stabilitas moneter dapat dipertahankan. Laju inflasi yang meningkat dan mencapau 11,5 persen pada tahun 1983, justru mengalama penurunan dan hanya berada di posisi 6,5 persen pada tahum 1988. Perkembangan ini berkaitan erat dengan langkah-langkah yang diambil dalam rangka PPakjun 1983 yang bertujuan bukan hanya mendorong kegiatan ekonomi berdasarkan kemampuan rakyat, melainkan juga dimasudkan untk memelihara stabilitas moneter melaui kebijakan yang tidak berlangsung.

Selain itu pembangunan ekonomi Indonesia yang telah sukses dalam bidang pertanian dan mulai bergeser ke bidng industry membutuhkan jumlah tenaga kerja. Munculnya pencari kerja baru merupakan tantangan pembangunan yang harus dicarikan pemecahannya. Pertumbuhan ekonomi yang sedang berlangsung diharapkan mampu menyerap angkatan kerja baru yang terus membengkak. Hubungan antara koondisi buruh haru disinkronkan dengan kebijakan ekonomi secara keseluruhan. Oleh karna itu, masalah buruh dimasukkan dalam ruang lingkup ekonomi, keuangan dan industry.

Dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja berupaya memberikan informasi kepada para Menteri Bidang Ekuin untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh, seperti buruh yang merupan bagian dari pembangunan itu sendiri. Pada masa Cosmas Batubara menjabat Menteri Tenaga Kerja, ia mengeluarkan Peraturan Ketentuan Upah Minimum bagi pekerja. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-OS/Men/1989. Peraturan ini dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa tingkat upah belum dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum bagi pekerja dan keluarga.

Dengan pembangunan nsional yang dirangsang secara terpadu dan selalu dipantau perkembangan implementasinya serta para pesai dari Negara lain, Indonesia dituntut siap melakukan penyesuain-penyesuian kebijakan ekonomi agar efisiensi ekonomi dapat ditingkatkan. Hal ini memerlukan tindakan dan langkhh-langkah antisipasi berupa deregulasi  dari waktu ke waktu. Berkat kebijakna Pakjun 1983 ini ekspor Indonesia bangkit kembali. Pada taun 1986 ekspor Indonesia mencapai 14,5 miliar dolar AS, terdiri dari 8,3 miliar doalr AS (6 persen) ekspor migas, sedangkan 6,5 miliar dolar AS (44 persen) berupa hasil ekspor nonmigas. Pada tahun1993, jumlah ekspor telah mencapai 39 miliar dolar AS. Daari jumlah tersebut sebesar 30 miliar dolar AS (77 persen) berupa ekspor nonmigas.

Dari perkembangan ekspor itu menunjukkan bahwa langkah-langkah deregulasi yang dilaksanakan selama itu telah berhasil memperkuat ketahanan ekonomi nasional yang semula menggantungkan diri pada perkebunan, kemudian beralih ke migas dan selanjutnya ke setiap sector yang potensi ekspornya cukup tinggi. Selain itu , terobosan-terobosan pemasaran komoditas  perdangan yang semula ke Eropa dan Amerika serikat, selanjutnya banyak diarahkan ke kawasan Asian dan Asia Pasifik dengan jarak trasnportasi yang relative lebih dekat dan dengan  biaya yang lebih murah. Hal ini diharapkan agar mampu menambah daya saing di pasar internasional.

Notes:

[1] Adi Sudirman. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia. Jogjakarta: DIVA Press

[2] Djoned Poesponegoro, Marwati dkk. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:     Balai Pustaka

[3] Http://pelita-iii-1979-1984.html

[4] Djoned Poesponegoro, Marwati dkk. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:     Balai Pustaka

No comments:

Post a Comment