PEMIKIRAN SOEKARNO DALAM MENENTANG " KOLONIALISME DAN IMPERIALISME SERTA ELITISME "

DARLIS S GULTOM 

 

Pada tanggal 17 mei 1956 Presiden Soekarno mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato di depan kongres Amerika Serikat dalam rangka kunjungan resminya ke negeri tersebut. Sebagaimana dilaporkan dalam halaman pertama New York Times pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih Soekarno menyerang kolonialisme. Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme," kata Bung Karno," telah berlangsung dari generasi ke generasi

selama berabad-abad." Tetapi, tambahnya, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan. Menarik untuk disimak bahwa meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS).

Namun, lebih menarik lagi karena pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno. Sebagaimana kita tahu, kuatnya semangat antikolonialisme dalam pidato itu bukanlah merupakan hal baru bagi Bung Karno. Bahkan sejak masa mudanya, terutama pada periode tahun 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas tampak. Bisa dikatakan bahwa sikap antikolonialisme dan anti-imperialisme Soekarno pada tahun 1950-an dan selanjutnya hanyalah merupakan kelanjutan dari pemikiran-pemikiran dia waktu muda. Tulisan berikut dimaksudkan untuk secara singkat melihat pemikiran Soekarno Muda dalam menentang kolonialisme dan imperialisme. Dan selanjutnya elitisme serta bagaimana relevansinya untuk sekarang.

 

1.      Anti-Kolonialisme dan Anti-Imperialisme

Salah satu tulisan pokok yang biasanya diacu untuk menunjukkan sikap dan pemikiran Soekarno dalam menentang kolonialisme adalah tulisannya yang terkenal yang berjudul Nasionalisme, Islam dan Marxisme". Dalam tulisan yang aslinya dimuat secara berseri di jurnal Indonesia muda tahun 1926 itu, sikap tersebut tampak jelas sekali. Menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu disadari adalah bahwa alasan utama kenapa para kolonialis Eropa datang ke Asia bukanlah untuk menjalankan suatu kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama " untuk mengisi perutnya yang keroncong belaka ". Artinya, motivasi pokok dari kolonialisme itu adalah ekonomi.

Sebagai sistem yang motivasi utamanya adalah ekonomi, Soekarno percaya, kolonialisme erat terkait dengan kapitalisme, yakni suatu sistem ekonomi yang dikelola oeh sekelompok kecil pemilik modal yang tujuan pokoknya adalah memaksimalisasi keuntungan. Dalam upaya memaksimalisasi keuntungan itu, kaum kapitalis tak segan-segan untuk mengeksploitasi orang lain. Melalui kolonialisme para kapitalis Eropa memeras tenaga dan kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah demi keuntungan mereka. Melalui kolonialisme inilah di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, kapitalisme mendorong terjadinya apa yang ia sebut sebagai exploitation de l'homme par l'homme atau eksploitasi manusia oleh manusia lain.

Soekarno menentang kolonialisme dan kapitalisme itu. Keduanya melahirkan struktur masyarakat yang eksploitatif. Sebagai suatu sistem yang eksploitatif, kapitalisme itu mendorong imperialisme, baik imperialisme politik maupun imperialisme ekonomi. Tetapi Soekarno Muda tak ingin menyamakan begitu saja imperialisme dengan pemerintah kolonial dan imperialisme.

 

2.      Anti-elitisme

Selain kolonialisme dan imperialisme, di mata Soekarno ada tantangan besar lain yang tak kalah pentingnya untuk dilawan, yakni elitisme. Elitisme mendorong sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih tinggi daripada orang-orang lain, terutama rakyat kebanyakan.

Elitisme ini tak kalah bahayanya, menurut Soekarno, karena melalui sistem feodal yang ada ia bisa dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Kalau dibiarkan, sikap ini tidak hanya bisa memecah-belah masyarakat terjajah, tetapi juga memungkinkan lestarinya sistem kolonial maupun sikap-sikap imperialis yang sedang mau dilawan itu. Lebih dari itu, elitisme bisa menjadi penghambat sikap-sikap demokratis dalam masyarakat modern yang dicita-citakan bagi indonesia merdeka.

Soekarno melihat bahwa kecenderungan elitisme itu tercermin kuat dalam struktur bahasa jawa yang dengan pola "kromo" dan "ngoko"-nya mendukung adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat. Untuk menunjukkan ketidaksetujuannya atas stratifikasi demikian itu, dalam rapat tahunan jong java di surabaya pada bulan februari 1921, Soekarno berpidato dalam bahasa jawa ngoko, dengan akibat bahwa ia menimbulkan keributan dan ditegur oleh ketua panitia. Upaya Soekarno yang jauh lebih besar dalam rangka menentang elitisme dan meninggikan harkat rakyat kecil di dalam proses perjuangan kemerdekaan tentu saja adalah pencetusan gagasan marhaenisme. Dalam kaitan dengan usaha mengatasi elitisme itu ditegaskan bahwa marhaneisme "menolak tiap tindak borjuisme" yang, bagi Soekarno, merupakan sumber dari kepincangan yang ada dalam masyarakat.

Ia berpandangan bahwa orang tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh ruth mcvey, bagi Soekarno rakyat merupakan "padanan mesianik dari proletariat dalam pemikiran Marx," dalam arti bahwa mereka ini merupakan "kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika digerakkan dalam gelora revolusi, akan mampu mengubah dunia."

Langkah-langkah apa yang diusulkan oleh Soekarno untuk melawan kolonialisme, imperialisme serta elitisme itu? Pertama-tama ia mengusulkan ditempuhnya jalan nonkooperasi. Bahkan sejak tahun 1923 Soekarno sudah mulai mengambil langkah nonkooperasi itu, yakni ketika ia sama sekali menolak kerja sama dengan pemerintah kolonial. Dalam kaitan dengan ini ia kembali mengingatkan bahwa motivasi utama kolonialisme oleh orang Eropa adalah motivasi ekonomi. Oleh karena itu mereka tak akan dengan sukarela melepaskan koloninya.

Langkah lain yang menurut Soekarno perlu segera diambil dalam menentang kolonialisme dan imperialisme itu adalah menggalang persatuan di antara para aktivis pergerakan. Dalam serial tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme ia menyatakan bahwa sebagai bagian dari upaya melawan penjajahan itu tiga kelompok utama dalam perjuangan kemerdekaan di indonesia-yakni para pejuang nasionalis, islam dan marxis-hendaknya bersatu. Dalam persatuan itu nanti mereka akan mampu bekerja sama demi terciptanya kemerdekaan indonesia. "bahtera yang akan membawa kita kepada indonesia merdeka," ingat Soekarno, "adalah bahtera persatuan."

Seruan-seruan Soekarno itu pada tanggal 4 juli 1927 dilanjutkan dengan pendirian Partai Nasional Indonesia (PNIi) yang sebagai tujuan utamanya dicanangkan untuk "mencapai kemerdekaan indonesia". Guna memberi semangat kepada para aktivis pergerakan, pada tahun 1928 ia menulis artikel berjudul jerit kegemparan di mana ia menunjukkan bahwa sekarang ini pemerintah kolonial mulai waswas dengan semakin kuatnya pergerakan nasional yang mengancam kekuasaannya. Ketika pada tanggal 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap dan pada tanggal 29 Agustus 1930 disidangkan oleh pemerintah kolonial, soekarno justru memanfaatkan kesempatan di persidangan itu. Dalam pleidoinya yang terkenal berjudul Indonesia Menggugat dengan tegas ia menyatakan perlawanannya terhadap kolonialisme. Dan tak lama setelah dibebaskan dari penjara pada tanggal 31 Desember 1931 ia bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yakni partai berhaluan nonkooperasi yang dibentuk pada tahun 1931 untuk menggantikan pni yang telah dibubarkan oleh pemerintah kolonial.

Hal ini tampak misalnya ketika ia mendirikan PNI. Di satu pihak memang dengan jelas digariskan bahwa tujuan utama pni adalah mencapai Indonesia merdeka. Tetapi di lain pihak cita-cita kemerdekaan itu tidak disertai hasrat untuk mengubah sistem politik yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial dengan sistem politik yang sama sekali baru. Alih-alih perubahan total, Soekarno sebagaimana banyak aktivis pergerakan waktu itu berkeinginan bahwa negeri yang merdeka itu nanti akan ditopang oleh sistem yang mirip dengan sistem yang menopangnya saat terjajah. Hanya elitenya akan diganti dengan elite baru, yakni elite pribumi.

Berhubungan dengan sikap anti-elitismenya perlu dilihat bahwa meskipun dalam pidato dan tulisan-tulisannya Soekarno tampak melawan elitisme, tetapi sebenarnya bisa diragukan apakah ia sepenuhnya demikian. Hal ini tampak misalnya dalam pidato yang ia sampaikan pada tanggal 26 November 1932 di yogyakarta, kota pusat aristokrasi Jawa. Dalam pidato itu Soekarno mengajak setiap orang, apa pun status sosialnya, untuk bersatu demi kemerdekaan. Tetapi sekaligus ia menegaskan bahwa bersama Partindo dirinya tidak menginginkan perjuangan kelas.

Dalam tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme, sebagaimana disinyalir oleh Mcvey, sebenarnya Soekarno sama sekali tidak sedang bicara dengan rakyat banyak. Dalam tulisan itu ia, menurut mcvey, "tidak menyampaikan imbauannya kepada kelompok-kelompok radikal pedesaan dan proletaryang telah memelopori pemberontakan komunis setahun sebelumnya, atau kepada para santri-santri taat pejuang Islam, atau kepada rakyat kebanyakan di dalam maupun di sekitar wilayah perkotaan yang bergabung ke dalam pni yang didirikan oleh Soekarno saat mereka sedang mencari pegangan di tengah lunturnya nilai-nilai tradisional." Soekarno, sebaliknya, lebih mengalamatkan imbauannya kepada sesama kaum elite pergerakan, atau kepada apa yang disebut oleh mcvey sebagai "elite metropolitan," yang keanggotaannya biasanya ditentukan oleh tingkat pendidikan barat yang diperoleh seseorang.

Jika Soekarno tampak terpisah dari rakyat, sebenarnya ia tidak sendirian. Banyak tokoh elite perjuangan pada zamannya juga demikian. Ketika membubarkan pni pada tanggal 25 April 1931, misalnya, para pemimpin partai itu tidak banyak berkonsultasi dengan rakyat kebanyakan yang menjadi anggotanya. Akibatnya rakyat menjadi kecewa, membentuk apa yang disebut "golongan merdeka," dan memperjuangkan pentingnya pendidikan rakyat.

Bahkan pada masa revolusi sendiri bisa dipertanyakan apakah sebenarnya rakyat yang ikut gigih bertempur dan berkorban mempertahankan kemerdekaan itu mendapat kesempatan yang maksimal dalam menentukan arah revolusi. Dalam tulisannya mengenai pola hubungan antara elite dan rakyat pada zaman revolusi, Barbara Harvey menyatakan bahwa hubungan itu tidak hanya amat lemah, tetapi juga berakibat cukup fatal bagi revolusi kemerdekaan itu sendiri. Lemahnya hubungan antara para pemimpin nasional di tingkat pusat dengan rakyat di desa-desa, menurut dia, "merupakan faktor utama bagi gagalnya elite kepemimpinan untuk menggalang dan mengarahkan kekuatan rakyat demi terwujudnya tujuan-tujuan revolusi."

Dengan kata lain, sebenarnya rakyat tidak sepenuhnya dilibatkan dalam proses bernegara. Jika ini benar, mungkin tak terlalu mengherankan jika PKI meskipun pada tahun 1948 ditekan besar-besaran setelah peristiwa Madiun dalam waktu singkat berkembang pesat pengikutnya. Ini antara lain karena di dalam pki banyak rakyat merasakan bahwa justru dalam partai yang menekankan antikemapanan (baca: anti-elite metropolitan) itu kepentingan dan cita-cita mereka mendapat tempatnya. Dalam pemilu 1955 PKI bahkan berhasil memperoleh suara terbanyak keempat.

Dengan sedikit meminjam seruan Bung Karno yang terkenal, sekarang ini kita perlu "membangun dunia baru." Tetapi upaya untuk membangun dunia yang baru itu kiranya harus dimulai dengan terlebih dahulu "membangun indonesia baru." Dan upaya membangun indonesia baru itu mungkin harus dimulai dengan membangun elite politik yang benar-benar lahir dari kalangan rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam indonesia yang baru itu diharapkan tiada lagi-kalaupun ada kecil peranannya elompok elite yang hanya sibuk berebut kekuasaan dan pengaruh.

Hal ini bisa terjadi jika para aktivis muda reformasi sekarang ini tidak enggan untuk belajar dari para aktivis pergerakan generasi tahun 1920-an. Di satu pihak meneruskan sikap militan generasi itu dalam memperjuangkan cita-cita bersama dan rela berkorban demi cita-cita itu. Di lain pihak menolak kecenderungan untuk mewarisi sistem pemerintahan sebelumnya, yakni kecenderungan untuk mengganti elite lama dengan elite yang baru tetapi yang pola dan orientasi politiknya tetap sama. Dengan demikian akan bisa diharapkan lahirnya elite politik yang benar-benar berorientasi pada semakin terwujudnya demokrasi.

 

Daftar pustaka

Hering bob. 2001. Soekarno architect of a nation. Amsterdam : kit publisher

Hering bob. 2001. Soekarno founding father of indonesia 1901-1945. Amsterdam : kit publisher

Kasenda, peter. 2010. Soekarno muda: biografi pemikiran 1926-1933. Jakarta : komunitas bambu

Katoppo, aristides. 1982. 80 tahun bung karno. Jakarta : kintamani offset

 

No comments:

Post a Comment