PENYEDERHANAAN PARTAI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP DEMOKRASI

SANTIA ARISKA AYU/S/B

Pembahasan terhadap tema di atas tidak terlepas dari perjalanan sejarah yang terjadi pada masa pemerintahan Soekarno. Di masa Soekarno, kebebasan berserikat dan berkumpul menjadi hal yang lumrah. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya keterlibatan partai politik. Walaupun demikian tetap saja masyarakat Indonesia berada dalam semangat demokrasi terpimpin. Kekuasaan hanyalah terpusat pada Soekarno sebab bagi Soekarno, persatuan Indonesia harus menjadi ideal yang harus dibumikan. Oleh karena itu Soekarno berusaha untuk menenggelamkan perbedaan-perbedaan ideologis ke dalam suatu kepercayaan nasional yang bersifat tunggal yang dikenal dengan Nasakom: nasionalisme, agama dan komunisme [1].

Pencetusan ideologi ini tidak terlepas dari keyakinan Soekarno bahwa nasakom mengandung lebih daripada suatu gencatan senjata saja di antara musuh-musuh bebuyutan, maka gagasan ini akan bertahan walaupun ia sendiri sudah meninggal dunia. Oleh karena itu, ideologi ini menjadi bahasa wajib ketika demokrasi terpimpin berkembang. Maka pembiasan terhadap makna sejati nasakom yang dicita-citakan Soekarno menjadi hal yang biasa demi pencapaian tujuan politik tertentu. Akibatnya adalah semakin tingginya tingkat ketidakpastian politik dan kegelisahan dalam masyarakat. Dalam hal ini sejarah menunjukkan bahwa peran Partai Komunis Indonesia (PKI) begitu besar dalam perpolitikan Orde Lama. Sadar atau tidak sadar, kehadiran PKI justru memperkuat posisi Soekarno ketika berhadapan dengan partai-partai Islam dan militer khususnya dari angkatan darat.
Sistem multi partai ala Soekarno memang membuka keterlibatan masyarakat dalam menjalankan haknya untuk berserikat dan berkumpul. Namun tetap saja memberikan keterbukaan dan memperuncing perbedaan dalam masyarakat atau lebih tepatnya membangun batasan-batasan pandangan politik yang memiliki potensi besar terhadap kesatuan. Soekarno tidak menyadari bahwa Indonesia merupakan bangsa yang beraneka [2]. Ia tidak memahami bahwa masyarakat Indonesia lahir dengan ciri khas budaya masing-masing dan demikian cinta kedaerahan menjadi mutlak.
Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno dilihat sebagai cara terbaik demi terjaganya kesatuan bangsa merupakan pandangan yang keliru. Demokrasi Terpimpin hadir hanyalah untuk menjaga kekuasaan tetap berjalan. Maka sampai di sini, demokrasi dalam arti asalinya bukanlah merupakan gagasan yang penting. Pandangan ini juga terjadi pada masa Soeharto.
Penyederhanaan partai
Runtuhnya demokrasi terpimpin berkat pemberontakan beberapa perwira angkatan darat yang bernaung di bawah partai Komunis Indonesia (PKI) [3], menjadi awal pendirian Orde Baru. Tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya Orde Baru merupakan hasil dari legitimasi terhadap PKI sebagai dalang pembunuhan rekan-rekan Soeharto. Dan sebutan Orde Baru hanyalah dimaksudkan untuk membedakan dirinya dengan Orde Lama. Namun pada kenyataannya tetaplah sama.
Sama seperti Soekarno, menurut Soeharto, demokrasi bukanlah merupakan hal relevan bagi bangsa Indonesia. Hal ini didasarkan pada ketakutan Soeharto akan modernitas. Maksudnya adalah ketika masyarakat menjadi melek terhadap politik, stabilitas negara tergerogoti. Dengan demikian kekuasaan menjadi milik rakyat. Presiden bukan lagi pemegang kekuasaan melainkan pelaksana kepercayaan masyarakat.
Berdasarkan asumsi ini, penyederhanaan partai politik yang dilakukan Soeharto pada pemilu 1977 [4] merupakan pelaksanaan dari maksud mempertahankan kekuasaan. Artinya bahwa ketika kebebasan berpartisipasi dalam politik sebagai hak salah satu utama warga negara mampu dipersempit oleh penguasa, kekuasaan menjadi aman.
Proses penyederhanaan partai ini dilakukan dengan mengorbankan kebebasan masyarakat. Mengapa demikian? Jawabannya adalah Soeharto dengan dibantu oleh militer membangun seperangkat lembaga otoriter yang disusun guna mengekang partisipasi politik dan dengan demikian memungkinkan Soeharto dan pihak militer menguasai masyarakat. Di sini, demokrasi merupakan sebuah penipuan publik. Hal ini terbukti ketika pancasila sebagai ideologi bangsa oleh Soeharto dijadikan sebagai azas tunggal yang harus dipegang oleh semua orang Indonesia. Namun penafsiran terhadap ideologi ini hanyalah merupakan hak pemerintah. Pemerintah bertindak sebagai penafsir satu-satunya pancasila.
Sistem pemilu yang hanya dibatasi keikutsertaan pada tiga partai jika dilihat secara teknis, proses jalannya pemiihan umum dilakukan secara jujur. Namun secara substantif, pihak yang diuntungkan dengan sistem tiga partai adalah tetap pemerintah. Betapa tidak dengan masa kampanye kurang dari sebulan dan peraturan membatasi kegiatan kampanye digunakan untuk menghambat partai non pemerintah. Golkar sebagai partai pemerintah paling diuntungkan dengan sistem ini. Propaganda ideologis dilakukan dengan menggelari Golkar sebagai partai politik yang mewakili kepentingan seluruh bangsa sedangkan partai-partai lainnya dikatakan mewakili hanya sebagian dari kepentingan bangsa yang besar yang bisa membawa kepada perpecahan bangsa.
Selain itu, pemerintahan Soeharto melarang PDI dan PPP mempunyai cabang di bawah tingkat kabupaten sedangkan Golkar mendapat perhatian istimewa. Ia diizinkan untuk hadir di mana pun entah di kantor pmerintah atau pun di semua desa. Pengetatan kontrol pemerintah tidak haya sampai pada level kepartaian. Partisipasi dalam menduduki posisi legislatif pun dikontrol. Orang-orang yang mau dicalonkan partai untuk mengisi kursi legislatif terlebih dahulu diperiksa oleh pemerintah. Selain itu, adanya kewajiban pegawai negeri harus memilih Golkar dalam pemilu. Kebebasan sungguh dalam kontrol penguasa.
Pengetatan kontrol ini memungkinkan untuk dijalankan sebab adanya peran aktif angkatan bersenjata (ABRI). ABRI selain menjaga dominasi negara atas masyarakat juga membenarkan intervensi militer dalam bidang politik sipil menurut doktrin dwifungsi ABRI. Dalam bidang pemerintahan sipil, peran ABRI pun sangat menonjol yaitu dengan diangkatnya perwira entah yang aktif ataupun yang sudah pensiun untuk menduduki jabatan utama dalam struktur pemerintahan sipil. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk perlindungan dan pengawasan. Soeharto membangun kembali keterpurukan demokrasi terpimpin dengan meletakkan di atasnya "demokrasi pancasila" yang otoriter dengan kekuatan bersenjata dalam intinya.
Lalu mengapa harus Golkar yang dipilih menjadi kendaraan politik Orde Baru? Golkar menjadi pilihan karena ia didirikan oleh pimpinan angkatan bersenjata untuk membatasi pengaruh yang semakin besar dari PKI dan onderbouw-nya. Dengan alasan pemilihan kendaraan politik ini, pemilu dan saluran demokrasi lainnya seperti partai, pengadilan dan media massa, dikekang agar hanya Soeharto yang menjadi pemimpin. Untuk mengimbangi agar partisipasi politik itu ada, Soeharto melengkapinya dengan bentuk-bentuk persaingan dan partisipasi politik sehingga rakyat merasa dilibatkan dalam misi penegakan demokrasi dan pembangunan Negara. Singkat kata Orde Baru murni berorientasi pada developmentalis sehingga menjadi jelas bagi kita zaman ini melihat penyederhanaan partai sebagai tindak lanjut dari cita-cita developmentalis ini.
Bertolak dari cita-cita ini, Orde Baru tampil sebagai rezim yang anti komunis, anti islamis dan mempunyai komitmen terhadap pembangunan. Pembangunan pada akhirnya menjadi trade mark Orde Baru di mana pancasila tetap menjadi landasan dalam pembangunan. Namun cita-cita developmentalis Orde Baru tidak menjadi kebal dengan sendirinya terhadap fragmentasi di masa depan (masa sekarang). Mengapa demikian? Ini merupakan akibat dari sentaralisasi pembangunan hanya di Jakarta dan Jawa pada umumnya sedangkan untuk pembangunan di daerah hanya terjadi di daerah-daerah tertentu misalanya di Palembang, Medan, Makasar untuk daerah timur.
Penderitaan sebagai akibat sentralisasi ini akhirnya dipenuhi masa sekarang. Pemberlakuan otonomi daerah bisa dilihat dari kegagalan ini. Selain itu, pergolakan di daerah merupakan bentuk prtes terhadap sentralisasi pembangunan di Jawa sedangkan daerah tempat kekayaan itu diambil dibiarkan dalam situasi miskin. 
Sampai di sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa pertama, dalam menjalankan pemerintahannya, Soeharto memakai kekerasan terhadap para lawan politiknya dengan menggunakan ABRI sebagai tameng utamanya. Kedua, monopoli atas ekonomi melalui sentralisasi pembangunan guna mengumpulkan teman dan mengkooptasi musuh entah dalam negeri maupun dari luar negeri. Ketiga, negara menjadi sarana untuk menjalankan kebijakannya sambil meyakinkan masyarakat akan misi Orde Baru berkaitan dengan pembangunan dan menjaga persatuan nasional. 

Note
[1] Emerson, Donald K (ed). 2001. Indonesia Beyond Soeharto; Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: Gramedia.
[2] Hardiman, Budi F. 2007. Filsafat Modern; Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia. Hal 23
[3] Yanuar, Fit. 2011. Materi modul Demokrasi. Jakarta.
[4] Hardiman, Budi F. 2007. Filsafat Modern; Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia. Hal 25

Daftar Pustaka
1.      Emerson, Donald K (ed). 2001. Indonesia Beyond Soeharto; Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: Gramedia.
2.      Hardiman, Budi F. 2007. Filsafat Modern; Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia.
3.      Yanuar, Fit. 2011. Materi modul Demokrasi. Jakarta.

No comments:

Post a Comment