RUNTUHNYA SISTEM POLITIK ORDE BARU SOEHARTO

YULIA SARI/SI V/12B

Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang disertai dengan tuntutan demokratisasi disegala bidang serta tuntutan untuk menindak tegas para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadikan perubahan di Indonesia berlangsung dengan akselarasi yang sangat cepat dan dinamis. Situasi ini menuntut bangsa Indonesia untuk berusaha mengatasi kemelut sejarahnya dalam arus utama perubahan besar yang terus bergulir melalui agenda reformasi.

Dengan latar belakang dari relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara negara dan masyarakat, gerakan reformasi muncul diawal layar politik Indonesia pada akhir tahun 80-an. Ada beberapa faktor yang akhirnya memberikan sumbangan bagi jatuhnya orde barunya Soeharto, yaitu:
Pertama, konflik internal antar elite yang berkuasa yang akhirnya memperlemah sistem yang ada. Konflik internal terjadi antara faksi-faksi elite yang saling bersaing untuk memperoleh akses kepada Presiden. Ketika kekuasaan semakin terakumulasi ditangan Soeharto dan keluarganya, cukup logislah jika anggota-anggota elite jelang akhir pemerintahannya, Soeharto dikitari oleh faksi-faksi yang bersaing, yang tujuan utamanya adalah menggunakan kekuasaan untuk mencapai pemenuhan kepentingannya. Konsekuensinya, suatu elite berkuasa yang kohesif, yang ada pada tahun-tahun pertama orde baru tidak dapat lagi dipertahankan dan Soeharto dipaksa untuk percaya pada kemampuannya untuk mengadakan manuver.
Kedua, format politik yang ada secara bertahap meruntuhkan kapasitas pertahanan sistem politik depolitisasi, misalnya mengeringkan sumber-sumber daya politik yang mendambakan penopangan dan pertahanan sistem. Tidaklah mengherankan jika politik Indonesia dibawah Orde Baru penuh dengan rumor politik yang berasal dari lingkungan elite yang kemudian disirkulasikan untuk konsumsi publik.
Ketiga, politik depolitisasi memperlemah struktur politik orde baru itu sendiri karena politik tersebut menghapus kemampuan untuk memiliki mekanisme kontrol yang efektif untuk penopangnya sendiri. Ketidakmampuan insitusi politik yang ada diluar lembaga eksekutif meruntuhkan kemampuan rezim untuk mengontrol praksis-praksis korupsi dan over birokratisasi dihampir seluruh aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Rezim semakin defensif dan tidak dapat menjawab kebutuhan publik akan koreksinya. Konsekuensinya, rezim menderita legitimasi moral dan politis dalam pandangan rakyat.
Kontradiksi internal yang demikian menciptakan keretakan pada dinding sistem politik orde baru. Kontradiksi ini juga memberi keterbukaan politik bagi kelompok-kelompok yang pro reformasi, khususnya kaum intelektual, aktivis sosial, politik, dan mahasiswa yang berjuang untuk demokrasi yang lebih baik sejak awal orde baru dan menjadi intensif selama tahun 80-an. Perjuangan mereka diperkuat dengan bertambahnya tekanan rezim melalui isu-isu hak asasi, perlindungan lingkungan hidup, dan hubungan perburuhan.
Dengan demikian, gerakan pro demokrasi mulai menentang dominasi politik orde baru melalui berbagai macam tindakan, seperti pembentukan Forum Demokrasi, AJI(Aliansi Jurnalis Indonesia), SBSI dapat dipandang sebagai langkah yang signifikan dalam proses reformasi demokratis. Perjuangan Megawati agar partainya lebih otonom juga menarik perhatian publik diluar negeri, teristimewa terhadap tragedi 27 Juli 1966 ketika militer mendukung penyerangan Soerjadi ke markas besar partai dan mengakibatkan kerusuhan berdarah.
Namun, mahasiswalah yang tampaknya lebih dominan dalam panggung politik Indonesia dan berhasil merobohkan rezim otoriter. Mahasiswa memaksa Soeharto untuk turun tahta setelah gagal mengatasi masalah krisis ekonomi. Krisis benar-benar menelanjangi kelemahan sistem politik Orde Baru, karena salah satu dari banyak alasan penting dibelakang kegagalan Soeharto untuk memeriksa akselarasi dari krisis adalah tidak adanya kepercayaan  publik pada pemerintahannya.
Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto antara lain sebagai berikut:
1.      Krisis ekonomi dan moneter
Pada waktu krisis melanda Thailand, melepaskan kaitan Baht pada US Dollar, Indonesia sangat merasakan dampak paling buruk. Hal ini disebabkan oleh rapuhnya fondasi Indonesia dan banyaknya prektek KKN serta monopoli ekonomi. Pada tanggal 1 Juli 1997 nilai tukar rupiah turun dari Rp.2.575,00 menjadi Rp.2.603,00 per Dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997 nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika mencapai Rp.5000,00 per Dollar, bahkan pada bulan Maret 1998 telah mencapai Rp.16.000,00 per Dollar Amerika Serikat.
Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia adalah masalah utang luar negeri, penyimpangan terhadap pasal 33 UUD 1945, dan pola pemerintahan yang sentralistik.
a.       Utang Luar Negeri Indonesia
Utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang negara, tetapi sebagian merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan negara hingga 6 Februari 1998 yang disampaikan oleh Radius Prawira pada sidang Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi yang dipimpin oleh Presiden Soeharto di Bina Graha mencapai 63,462 milliar dollar AS, sedangkan utang pihak swasta mencapai 73,962 milliar dollar AS.
b.      Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
Dalam pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau pemikiran anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat ditafsirkan bukan merupakan kemakmuran orang per orang, melainkan kemakmuran seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan asas-asas kekeluargaan.
Sistem ekonomi yang berkembang pada masa orde baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
c.       Pola pemerintahan Sentralistis
Pemerintahan orde baru dalam melaksanakan sistem pemerintahan bersifat sentralistis, artinya semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintahan (Jakarta), sehingga peranan pemerintah pusat sangat menentukan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Selain pada bidang ekonomi, politik sentralistis ini juga dapat dilihat dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris. Disebut Jakarta-sentris karena pemberitaan yang berasal dari Jakarta selalu menjadi berita utama. Jakarta selalu dipandang sebagai pusat berita penting yang bernilai tinggi. Berbagai peristiwa yang berlangsung di Jakarta atau yang melibatkan tokoh-tokoh Jakarta dipandang sebagai berita penting dan berhak menempati halaman pertama.
2.      Krisis Politik
Pada dasarnya secara de jure (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi ternyata secara de fakto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR tersebut diangkat berdasarkan pada ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Mengakarnya budaya KKN dalam tubuh birokrasi pemerintahan, menyebabkan proses pengawasan dan pemberian mandat kepemimpinan dari DPR dan MPR kepada presiden menjadi tidak sempurna. Unsur legislative yang sejatinya dilaksanakan oleh MPR dan DPR dalam membuat dasar-dasar hukum dan haluan negara menjadi sepenuhnya dilakukan oleh Presiden Soeharto. Karena keadaan tersebut, mahasiswalah yang didukung oleh dosen dan rektornya mengajukan tuntutan untuk mengganti presiden, reshuffle cabinet, dan menggelar sidang istimewa MPR serta melaksanakan pemilu secepatnya.
Salah satu penyebab mundurnya Soeharto adalah melemahnya dukungan politik, yang terlihat dari pernyataan politik Kosgoro yang meminta Soeharto mundur. Pernyataan Kosgoro pada tanggal 16 Mei 1998 tersebut diikuti dengan pernyataan Ketua Umum Golkar, Harmoko yang pada saat itu juga menjabat sebagai Ketua MPR/DPR Republik Indonesia meminta Soeharto untuk mundur.
3.      Krisis Kepercayaan
Dalam pemerintahan orde baru berkembang KKN yang dilaksanakan secara terselubung maupun secara terang-terangan. Hal tersebut mengakibatkan munculnya ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah dan ketidakpercayaan luar negeri terhadap Indonesia.
Kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Soeharto berkurang setelah bangsa Indonesia dilanda krisis multidimensi. Kemudian muncul berbagai aksi damai yang dilakukan oleh para masyarakat dan mahasiswa. Para mahasiswa semakin gencar berdemonstrasi setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncaknya pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat mahasiswa Trisaksi, yaitu Elang Mulya Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan.
4.      Krisis Sosial
Ada 2 jenis aspirasi dalam masyarakat, yaitu mendukung Soeharto atau menuntut Soeharto turun dari kursi kpresidenan. Kelompok yang menuntut Presiden Soeharto untuk mundur diwakili oleh mahasiswa. Kelompok mahasiswa ini memiliki cita-cita reformasi terhadap Indonesia. Organisasi yang mendukung mundurnya Presiden Soeharto diantaranya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Forum Kota (Forkot).
5.      Krisis Hukum
Banyak ketidak adilan yang terjadi dalam pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru, seperti kekuasaan kehakiman yang dinyatakan pada pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif). Namun pada saat itu, kekuasaan kehakiman dibawah kekuasaan eksekutif. Hakim juga sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah atau sering kali terjadi rekayasa dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa, keluarga kerabat, atau para pejabat negara. Reformasi menghendaki penegakan hukum secara adil bagi semua pihak sesuai dengan prinsip negara hukum.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada BJ Habibie. Pristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimualainya Orde Reformasi.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad A.S Hikam. 1999. Politik Kewarganegaraan: Runtuhnya Politik Orde Baru. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Notosusanto, Nugraha. 2008. Sejarah Nasional Indonesia 6, Jakarta : Balai Pustaka.
Sudirman, Adi dkk. 2004. Sejarah Lengkap Indonesia.Yogyakarta: Ikapi Press.
Daryanto, Nico. 2012. Pak Harto The Untold Stories. Jakarta: Kompas Gramedia.

No comments:

Post a Comment