SEJARAH KAMPUNG MACCASAR DI AFRIKA SELATAN

ANDRIZAL SAMIDTRO / PIS

Afrika Selatan adalah sebuah republik di selatan Afrika. Negara ini berbatasan dengan Namibia, Botswana dan Zimbabwe di utara, Mozambique dan Swaziland di timur laut. Pada masa silam, negara ini dikecam karena dasar apartheidnya tetapi sekarang Afrika Selatan adalah sebuah negara demokratik dengan penduduk kulit putih terbesar di benua Afrika. Afrika Selatan merupakan negara multiras dan mempunyai 11 bahasa resmi. Afrika Selatan terkenal sebagai penghasil berlian, emas dan platinum yang utama di dunia.

Republik Afrika Selatan adalah salah satu negara terkaya di dunia. Pada tahun 1867 seorang anak Afrika yang sedang bermain di tepi sungai Oranye menemukan sebuah gundu yang elok, yang kemudian ternyata adalah sebutir berlian. Penemuan berlian telah mengubah sejarah Afrika Selatan. Beribu ribu orang berduyun duyun masuk ke wilayah ini untuk bermukim dengan harapan menjadi kaya.
Pada tahun 1884 emas di temukan di daerah yang kini menjadi kota Johannesburg. Sekali lagi pertualangan mencari kekayaan yang penuh harapan terjadi. Kekayaan yang telah di hasilkan oleh ladang berlian diinvestasikan dalam pengembangan tambang emas. Akhirnya, keuntungan dari pertambangan itu di gunakan untuk mengembangkan industri. Tanpa kekayaan melimpah yang di ciptakan oleh penemuan emas dan berlian itu, Afrika Selatan mungkin masih tetap miskin sampai sekarang. NEGARA dan BANGSA. Jilid 2. (Hal 380). ENSIKOPLEDIA GEOGRAFI. Jilid 4.(Hal 110)
 Islam masuk ke afrika selatan melalui Tanjung Harapan (cape of Good Hopes) pada saat dibukanya pemukiman koloni belanda pada abad ke 17. Pada tanggal 6 april 1652 Jan Van Rebeeck mendarat di Tanjung Harapan dari Batavia membawa beberapa orang melayu. Namun belum tau apakah diantara mereka ada yang beragama islam.
Menurut sumber yang didapatkan, kaum muslim yang pertama datang ke afrika selatan adalah mereka yang disebut sebagai Mardyckers. Orang-orang Mardyckers datang ke Afrika Selatan pada tahun 1658, empat tahun setelah VOC menjadikan Tanjung Harapan sebagai tempat persinggahan kapal-kapal mereka yang akan melewati jalur perdagangan Belanda-Batavia.
Mardyckers berasal dari kata Mardycka atau Maredhika yang berarti merdeka. Orang-orang ini berasal dari Ambon, Maluku. Mereka datang ke Afrika Selatan sebagai tenaga keamanan atau satpam untuk menjaga kepentingan VOC dan orang Belanda dari gangguan penduduk setempat. Sebagian dari orang-orang Mardyckers ini beragama Islam. Namun pemerintah colonial melarang mereka beribadah secara terbuka, dan bagi yang melanggarnya akan diancam dengan hukuman yang sangat berat.
Sepuluh tahun kemudian, 1667, rombongan pendatang dari Nusantara kembali datang ke Tanjung Harapan. Namun status mereka kali ini bukan lagi sebagai orang merdeka, tetapi budak penjajah Belanda. Pada tahun yang sama Tanjung Harapan kemudian juga ditetapkan sebagai tempat pembuangan tahanan politik. Sejarah mencatat , pada tanggal 13 mei 1667, kapal dagang yang bernama Poelsbroek,  yang berangkat dari Batavia pada tanggal 24 Januari 1667, merapat di Tanjung Harapan, didalamnya terdapat tahanan politik, yang disebut Orang Cayen atau orang-orang kaya dan berpengaruh. Mereka adalah para bangsawan atau ulama dari nusantara yang melakukan berbagai perlawanan terhadap penjajahan VOC, seperti sultan Matebe Shah dari Malaka.
Pada tanggal 2 april 1694, mendarat lagi sebuah kapal VOC lainnya, yang bernama Voetboeg. Kapal ini datang dari Sri Lanka dan diantara penumpangnya terdapat 49 Tahanan politik yang dipimpin oleh Abidin Tadia Tjoesoep alias syaikh Yusuf Al-Makassari. Selama diasingkan di afrika selatan, Syaikh Yusuf diisolasi di sebuah kawasan perkebunan bernama Zandvleit, sekitar 40 Km dari cape Town. Namun upaya pemerintah colonial Belanda ini ternyata sia-sia, karena Zeindvleit justru kemudian menjadi tempat perlindungan bagi para budak yang berhasil melarikan diri.
Di Zandvleit, di bawah bimbingan Syaikh Yusuf , Komunitas Muslim pertama terbentuk di Afrika Selatan. Namun sayang, empat tahun kemudian tepatnya tanggal 23 Mei 1699, Syaik Yusuf meninggal dunia dalam usia 73 Tahun. Jenazahnya dimakamkan di kota kecil yang bernama Macassar di pinggiran Cape Town. Sepeninggal Syaikh Yusuf , seluruh pengikutnya , kecuali dua orang imam dan satu putrinya dipulangkan kembali ke Nusantara dengan dua kapal De Liefde dan De Spiegel.

Keberadaan makam Syaikh yusuf di Cape Town merupakan saksi sejarah bagi eksistensi Ummat Islam di Afrika Selatan. Kini, di sekitar makam syaikh Yusuf terdapat perkampungan kecil dengan penduduk sekitar 40 rumah tangga . Di tengah perkampungan ini terdapat masjid Nurul Imam yang berdiri megah. Masjid ini didirikan pada tahun 2005 oleh mantan wakil Presiden RI Yusuf Kalla, setelah selesai dipugar dengan bantuan dari Pemerintah RI.
Sejarah Islam di Cape Town memang tidak lepas dari ketokohan Syaikh Yusuf. Ulama asal Makassar ini memiliki tempat tersendiri di Afrika Selatan. Pada September 2005 pemerintah Afrika Selatan memberinya gelar kehormatan Pahlawan Nasional. Padahal sepuluh tahun sebelumnya, 1995, pemerintah Indonesia juga menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional. Ketokohan Syaikh Yusuf di Afrika Selatan terlihat jelas dari Nelson Mandela yang menyatakan bahwa salah satu yang menginspirasinya untuk melawan politik apharteid adalah ajaran ulama asal Indonesia tersebut.
Selain Syekh Yusuf, tokoh lain yang berjasa dalam menyebarkan Islam di Afrika Selatan adalah Tuan Guru dari Ternate yang bernama lengkap Abdullah bi Kadi Abdus Salaam. Dia dibawa bersama tiga orang lainnya yang bernama Callie Abdol Rauf, Badroedin, dan Noro Iman. Mereka ditawan di Robben Island dengan kesalahan yang tidak dijelas, hanya disebut sebagai Bandietten Rollen, yang berarti orang yang dianggap berkonspirasi dengan pihak Inggris untuk merongrong VOC. Di sini kawan – kawannya meninggal dunia. Sedangkan Abdullah bin Kadi dibebaskan pada tahun 1792, setelah dua belas tahun di penjara. Dia kemudian bermukim di Dorp Street, di kawasan yang kini dikenal sebagai Bo-Kaap, Dekat pemakaman Tana Baru.
Di samping kedua ulama ini, masih terdapat beberapa tokoh lainnya berperan penting dalam menyebarkan Islam di Afrika Selatan. Di sekeliling cape Town saat ini ada sekitar 23 makam ulama yang disebut kramat oleh masyarakat setempat. Mereka umumnya berasal dari Nusantara. Makam-makam ini merupakan tempat ziarah yang sering dikunjungi oleh wisatawan dari Negara-negara islam.
Selain makam atau kramat, bukti sejarah tentang keberadaan islam di afrika Selatan juga bisa kita lihat dari masjid – masjid yang berdiri kokoh di negeri paling selatan dari benua afrika ini. Di antara masjid-masjid tersebut yang paling terkenal adalah :
  1. Masjid Auwal. Masjid ini merupakan masjid tertua dan merupakan kebanggaan ummat islam Afrika Selatan. Masjid ini didirikan pada tahun 1798 oleh Imam Abdullah Kadi Abdus Salaam atau Tuan Guru, yang tidak lain adalah imam pertama masjid ini. Masjid Auwal yang terletak di Drop Street merupakan symbol perjuangan dari umat muslim untuk pengakuan akan kebebasan beragama di Afrika Selatan.
  2. Masjid Palm Tree. Masjid ini merupakan masjid kedua tertua di Bokaap, Cape Town yang didirikan pada tahun 1820. Masjid ini terletak di Loong Street , dan merupakan rumah yang dialih fungsikan manjadi masjid. Imam pertama masjid ini adalah Abdulgamiet Van Bengalen.
  3. Masjid Nurul Islam. Masjid ini adalah masjid ketiga tertua yang tertua yang terletak tidak terlalu jauh dari masjid Auwal. Didirikan pada tahun 1844 oleh anak tuan guru, Imam Abdul Rauf.
  4. Masjid Jami Queen Victoria. Masjid ini terletak di sujud jalan antara jalan Chiappini dan Castle. Di tempat ini pertama kali diadakan khotbah jumat pada tahun 1790. Masjid ini merupakan masjid terbesar di bokaap dan masjid tertuakelima di Afrika Selatan.
  5. Masjid Boorhanol Islam. Masjid ini didirikan pada tahun 1884 dan terletak di jalan Longmarket . pada awalnya menara masjid ini di buat dari kayu. Namun pada saat capetown diserang badai pada tahun1930, menara masjid ini akhirnya dig anti dengan bangunan beton. Saat itu juga seluruh bangunan sekaligus direnovasidan ditetapkan sebagai sebuah monument nasional (MI-Nas)
Penduduk yang menetap di Propinsi Western Cape berasal dari bermacam-macam suku, keturunan dan agama. Salah satu keturunan tersebut adalah keturunan Melayu yang berjumlah sekitar 600 ribu jiwa dimana sebagian besar dari mereka mengaku bernenek moyang dari Indonesia. Dan sebagian besar dari mereka menganut Agama Islam.
Menurut catatan Jurnal Boorhaanol Islam, di Semenanjung Cape terdapat sekitar 320.741 penduduk muslim. Sedangkan untuk keseluruhan Afrika Selatan jumlah penduduk muslim diperkirakan berjumlah 687.377 jiwa. Jumlah masjid yang ada di semenanjung ini mencapai sekitar 125 masjid, jumlah yang cukup signifikan bila melihat bahwa Afrika Selatan adalah bukan negara mayoritas Islam.

Agama Islam datang ke Afrika Selatan dibawa oleh Syekh Yusuf dari Bugis/Makasar yang diasingkan oleh Belanda pada tahun 1693. Syekh Yusuf dianggap sebagai Bapak Komunitas Muslim dan Bapak Budaya Melayu dari Indonesia oleh penduduk muslim di Western Cape. Hingga kini budaya tersebut masih hidup dan secara "sistematis" terus diaplikasikan.
Beberapa kegiatan ritual dan tradisi keagamaan yang berasal dari tanah Melayu masih terus dipraktekkan seperti ratib (debus di Indonesia). Ritual ini besar kemungkinan besar berasal dari tanah Banten. Beberapa ritual dan praktek agama lainnya banyak menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa penamaan ritual itu seperti puasa, buka puasa, sembahyang, bang (adzhan), abdas (wudhu).Kata-kata Bahasa Indonesia lain yang masuk dalam kosa kata lokal tapi tidak ada kaitannya dengan ritual antara lain jamban (wc), terima kasih, kuli, pisang dan roti.
Untuk memperkuat eksistensinya, tidak sedikit dari masyarakat Melayu secara gigih berjuang mendapatkan pengakuan resmi pemerintah atas tempat-tempat bersejarah Melayu sebagai monumen nasional.
Selain Syekh Yusuf, ada pula tokoh besar lain yang turut berperan penting dalam membawa budaya Melayu ke negeri ini. Dia adalah Tuan Guru dari Tidore. Berikut ini keterangan singkat tentang dua tokoh asal Indonesia itu:

Syekh Yusuf
Syahdan, di Negeri Tallo, pada 13 Juli 1626 M atau bertepatan 8 Syawal 1036 H, muncul dari langit cahaya terang benderang menyinari negeri itu hingga Negeri Gowa. Maka, gemparlah masyarakat Gowa melihat cahaya itu. Mereka pun berangkat ke Tallo menceritakan serta mencari tahu fenomena luar biasa yang terlihat di Gowa.
Namun orang Tallo tak tahu apa-apa. Yang mereka tahu, di negerinya telah lahir seorang anak bernama Yusuf. Kisah yang tertoreh dalam lontara Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa (RTSG) itu menggambarkan kelahiran seorang ulama besar yang juga termasyhur sebagai sufi dan pejuang bernama Asy-Syaikh al-haj Yusuf Abu al-Mahasin Hidayatullah Taj Al-Khalwati al-Makasari atau Syekh Yusuf.
Syekh Yusuf, menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf:  Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang lahir dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dinamika. Saat itu, peperangan tengah berkecamuk di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dan terjadi persaingan melawan kompeni Belanda yang tengah sibuk berebut jalur perdagangan. Suasana keagamaan juga berada dalam masa transisi, sehingga kepercayaan lama dan Islam masih bercampur-baur.
Asal-usul ulama besar itu memang tak dapat dipastikan kebenarannya, karena bersumber dari cerita dan legenda. Menurut lontarak RTSG versi Gowa, ibu Syekh Yusuf bernama Aminah puteri Gallarang Moncongloe dan ayahnya seorang tua yang tak diketahui asal kedatangannya. Orang tua itu dikenal sebagai orang suci yang konon mempunyai banyak keramat. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Jilid IV meyebutkan ayah Syekh Yusuf bernama Abdullah.
Setelah 40 hari kelahiran Yusuf, Aminah dipersunting Raja Gowa setelah diceraikan suaminya. Yusuf dan sang ibu pun berpindah ke istana. Nabilah Lubis dalam bukunya Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makari: Menyingkap Intisari Segala Rahasia menyebutkan,`'Yusuf bukanlah seorang bangsawan. Dia diangkat oleh Sultan Alaudin dan dibesarkan di istana Sultan, namun tak pernah mendapat gelar kebangsawanan.'' Yusuf kecil dibesarkan dalam kehidupan Islami.
Selepas mengkhatamkan Alquran dari gurunya Daeng ri Tasammang, ia menimba ilmu sharaf, nahwu, mantik dan beragam kitab dari Syed Ba' Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala. Dalam waktu singkat,Yusuf belia sudah menguasai dantamatmempelajari kitab-kitab fikih dan tauhid.
Sejak kecil, ilmu tasawuf begitu membetot perhatiannya. Sebagain besar perhatiannya tercurah pada ilmu yang kelak mengantarnya sebagai seorang guru besar. Dianggap telah cakap, pada usia 15 tahun Yusuf disarankan untuk menimba ilmu di negeri lain. Yusuf muda pun berguru pada Syekh Jalaludin al-Aidit pun di Cikoang, Sulawesi Selatan. Rasa ingin tahunya yang begitu besar tentang ilmu-ilmu keislaman mengantrakannya ke luar negeri. Tepat pada 22 September 1644, saat Kerajaan Gowa dipimpin Sultan Malikussaid, di usia 18 tahun, ia meninggalkan tanah kelahirannya menuju Makkah menumpang kapal Melayu dari Somba Opu.
Delapan hari mengarungi lautan, Yusuf kemudian singgah di Banten. Di tanah para jawara itu, Yusuf muda yang supel berkenalan dengan ulama, ahli agama dan pejabat. Yusuf bersahabat dengan Pengeran Surya, putera mahkota Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir. Kelak, Pangeran Surya menjadi, Sultan Ageng Tirtayasa.
Ia begitu tertarik dengan Syekh Nuruddin ar-Raniri, seorang ulama kondang yang bermukim di Aceh. Syekh Yusuf menemui Syekh Nuruddin dan berguru sampai mendapat ijazah tarekat Qadiriyah. `'Tarket Qadiriyah saya terima dari Syekh kami yang alim, arif sempurna dan menyatukan antara ilmu Syariat dengan ilmu Hakikat, penghulu kami Syekh Nuruddin Hasanji bin Muhammad Hamid Al-Quraisyi ar-Raniri,'' ungkapnya dalam risalah Safinat an-Naja.
Lima tahun sudah Yusuf berkelana di Banten dan Aceh. Timur Tengah, kini menjadi tujuan berikutnya. Bertolak dari Pelabuhan Banten, Syekh Yusuf akhirnya sampai ke Timur Tengah. Yaman adalah negeri pertama yang dikunjunginya. Ia berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi sampai mendapat ijazah tarket Naqsyabandi.
Di negeri itu pula, Syekh Yusuf mendapat ijazah tarekat al-Baalawiyah dari Syekh Maulana Sayed Ali. Setelah menunaikan ibadah haji di Makkah, ia kemudian menemui Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani di Madinah hingga mendapatkan ijazah tarekat Syattariyah. Empat ijazah yang telah digengamnya masih belum dirasa cukup. ia pun mengunjungi Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi. Ijazah tarekat Khawatiyah pun kembali digenggamnya dan mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah.
Di usia 38 tahun, Syekh Yusuf akhirnya kembali ke Gowa dan telah menjadi seorang guru yang besar. Menurut sumber lontara, sesampainya di kampung halaman Syekh Yusuf begitu kecewa, Gowa telah berubah. Nabilah Lubis dalam bukunya mengutip sumber sejarah yang bersifat separuh dongeng menuturkan pada masa itu syariat Islam seolah-olah telah dikesampingkan, maksiat dan kemungkaran merajalela.

Setelah tak berhasil meyakinkan Sultan untuk melaksanakan kembali Syariat Islam, Syekh Yusuf meninggalkan Gowa menuju Banten. Pada 1664, Banten pun telah berubah. Sahabatnya, telah menjadi Sultan bergelar Ageng Tirtayasa. Ia kini didaulat sebagai ulama tasawuf dan syekh tarekat. Dalam sekejap, namanya sudah termasyhur, karena keluhuran ilmunya.
Sebagai sufi, Syekh Yusuf juga dikenal memiliki kepribadian yang menarik. Ia dipercaya mendidik anak-anak Sultan di bidang agama Islam dan membuka pengajian bagi penduduk. Sejumlah karya mengenai ajaran tasawuf ditulisnya di Banten.
Banten pun berubah ketika Pangeran Gusti - putera mahkota Banten yang kemudian mendaulat menjadi Sultan Haji -- tiba dari Makkah. Kompeni Belanda mulai menghasut Pangeran Gusti untuk memberontak pada sang ayah. Maret 1682, pertempuran antara kompeni Belanda yang mendukung Sultan Haji dan Sultan Ageng pun meletus. Syekh Yusuf dan Sultan Ageng serta Pangeran Purabaya bahu membahu melawan kompeni.
Setahun kemudian, Sultan Ageng ditangkap kompeni setelah ditipu anaknya. Perjuangan belum habis. Syekh Yusuf memimpin 5.000 pasukan termasuk 1.000 orang dari Makassar bersama Pangeran Purabaya mengobarkan perang gerilya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya. Pada 1683, Syekh Yusuf ditangkap Belanda di Sukapura.
Awalnya, ia ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta). Pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Ia dan keluarga kemudian diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Di tempat baru itu, Syekh Yusuf memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam.
Di Srilanka, ia bertemu dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibnu Mi'an, ulama besar dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.


Syekh Yusuf pun leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan muridnya di negeri Srilanka. Kabar dari dan untuk keluarganya, ia terima dan sampaikan melalui jamaah haji singgah di Srilanka. Lewat jalur itu, ajarannya sampai kepada muridnya. Belanda kembali kebakaran jenggot dan menganggap Syekh Yusuf masih mejadi ancaman. Pengaruhnya masih begitu besar, meski berada jauh dari tanah kelahiran.
Guna menjauhkan pengaruh Syekh Yusuf di Tanah Airnya, Belanda membuangnya ke Afrika Selatan. Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Cape Town dengan kapal De Voetboog dan diasingkan ke daerah Zandvliet sekitar 35 km dari kota Cape Town yang kemudian dikenal dengan daerah Macassar.
Syekh Yusuf wafat di Cape Town pada tanggal 23 Mei 1699. Pada tahun 1704, jenazah beliau dipulangkan ke tanah air, dan tepatnya pada tangal 5 April 1705 dilaksanakan pemakaman kembali atas jenazah beliau di Lakiung, Gowa.
Tuan Guru
Nama lengkapnya adalah Imam Abdullah ibn Qadi Abdul Salam. Beliau dilahirkan di Ternate Tidore, dibesarkan di dalam Istana Kerajaan Tidore sebagai seorang pangeran. Beliau tiba di Afrika Selatan sebagai tahanan politik pada tanggal 6 April 1780 dan dipenjarakan oleh Belanda di pulau Robben selama 13 tahun. Pada tahun 1792 beliau dibebaskan oleh Belanda.
Setelah dibebaskan dari penjara beliau memulai aktifitas dakwahnya sebagai seorang guru agama. Media utama kegiatan dakwah beliau adalah madrasah dan masjid. Beliau mendirikan sebuah madrasah di daerah Bo-Kaap dan kemudian sebuah masjid tepatnya di Jalan Dorp pada tahun 1795 di Cape Town. Adapun tahun pendirian Masjid tersebut tercatat dalam sejarah sedangkan tahun pendirian madrasah tidak diketahui dengan jelas. Masjid tersebut di beri nama Owwal Mosque (masjid pertama) karena dianggap sebagai masjid pertama di Afrika Selatan.


Di samping Syeikh Yusuf dan Tuan Guru, masih ada lagi tokoh-tokoh politik Indonesia lainnya yang juga diasingkan oleh Belanda ke Afrika Selatan seperti tokoh asal Sumatra yang dikenal dengan sebutan Orang Cayen dan Pangeran Cakradiningrat IV dari Madura. Makam pangeran asal pulau garam ini dapat ditemukan di Robben Island dan dikenal oleh penduduk setempat dengan sebutan karamat Syekh Matura. Makam Orang Cayen tidak diketahui dengan pasti keberadaannya. Namun demikian, di Constantia terdapat keramat tokoh asal Sumatra yang kemungkinan adalah makam Orang Cayen.
Belanda banyak mengirim orang-orang Indonesia ke Afrika Selatan, di antara mereka sebagai tahanan politik dan sebagian besar lainnya sebagai tenaga kerja di perkebunan. Tenaga kerja dalam jumlah yang relatif banyak ini pada gilirannya turut berperan dalam memperbesar jumlah orang Melayu di Cape Town. Di kota ini, jumlah mereka diperkirakan mencapai sekitar 400 ribu orang. Bahasa sehari-hari mereka adalah Bahasa Afrikaans juga penganut agama Islam. Rata-rata kehidupan sosial mereka ada di tingkat menengah ke bawah. Adapun profesi mereka antara lain sebagai tukang bangunan, tukang jahit, pekerja di perkebunan dan pedagang eceran kecil-kecilan. Tetapi ada beberapa di antara mereka yang sudah menjadi pengusaha dengan skala nasional. Dalam kehidupan politik ada beberapa yang aktif sebagai anggota parlemen dan beberapa lainya menduduki pos-pos penting di pemerintahan. Di dunia intelektual dan akademis, terlihat beberapa dari mereka cukup menonjol sebagai pemikir bebas maupun sebagai guru besar.
Komunitas Melayu ini dikenal dengan sebutan Cape Malay. Di masa regim Apartheid mereka seperti golongan non-putih lainnya telah ditindas dan teraniaya oleh sistem diskriminatif saat itu. Mereka tidak mempunyai hak-hak yang sama dengan golongan kulit putih. Mereka juga tidak dibenarkan mempraktekkan beberapa sisi dari Budaya Melayu, termasuk di dalamnya Bahasa Indonesia hal tersebut mungkin dianggap akan membawa ancaman bagi regim berkuasa.
Dalam penghayatan agama masyarakat Melayu cukup baik dan kuat. Hal itu dapat dilihat umpamanya dari kebiasaan sholat jamaah lima waktu yang sangat membudaya. Setiap waktu solat tiba terlihat masyarakat Muslim banyak berbondong-bondong menuju masjid. Tradisi menghafal Al-Quran juga sangat kuat di Cape Town.

Pada Bulan Suci Ramadhan, setiap satu masjid biasanya dipandu oleh sedikitnya empat imam untuk solat tarawih secara bergiliran. Para imam tersebut kebanyakan sudah atau sedang menghafal Al-Quran. Jumlah tersebut jika dikalikan dengan jumlah masjid yang ada, yaitu 125 maka jumlah individu yang telah/sedang menghafal Al-Quran mencapai angka yang cukup signifikan.
Perkampungan masyarakat Melayu terkonsentrasikan di beberapa tempat seperti Bo-Kaap, Salt River,Woodstock, Michels Plain Athlone, Gatesville dan di sekitar kota Cape Town. Perkampungan pertama yang dihuni oleh Syekh Yusuf dan pengikutnya adalah daerah Eerste River dan akhirnya berubah menjadi Maccasar. Disinilah beliau dimakamkan terlebih dahulu. Makam ini masih terus dikunjungi dan diagungkan oleh masyarakat Muslim setempat, terlepas dari kontroversi yang ada apakah jenazah beliau masih ada di makam itu atau telah dipulangkan ke Indonesia. Pada masa-masa tertentu, seperti menjelang musim haji, makam itu semakin ramai dikunjungi terutama oleh mereka yang hendak berangkat ke Tanah Suci untuk melaksanakan Rukun Islam yang kelima. Kedatangan mereka biasanya untuk memohon berkah agar selamat dalam perjalanan dan diberikan kemudahan selama berada di Tanah Suci. Namun, tidak sedikit yang bermotif sekedar untuk memberi hormat atas jasa-jasa beliau membawa dan menyebarkan Islam di Afrika Selatan. Pada hari lebaran iedul fitri maupun iedul adha makam tersebut juga ramai diziarahi oleh orang Muslim.
Setiap tahun bertepatan dengan Liburan Paskah, Komunitas Muslim di Maccasar secara rutin membuat kegiatan Maccasar Festival. Adapun kegiatan tersebut diisi dengan acara keagamaan disamping itu juga pasar malam dan pertunjukan kesenian yang bernuansakan Islam.Hingga kini, terdapat sejumlah kata dalam bahasa Indonesia yang digunakan di Afrika Selatan.
Oleh Zalm Saldiaat ini, miliaran pasang mata tertuju pada perhelatan akbar Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Afrika Selatan menjadi negara pertama yang menjadi tuan rumah di Benua Hitam itu. Namun, saat semua perhatian tertuju pada pertandingan sepak bola, beberapa ratus tahun silam, di sejumlah kota di negara yang berpenduduk sekitar 49 juta jiwa itu, terdapat kiprah umat Islam dalam menyebarkan agama tauhid ini ke negara tersebut.

Bahkan, terdapat Muslim asal Indonesia yang menjadi penyebar Islam bagi warga Afrika Selatan. Karena itu, terdapat hubungan yang sangat erat antara umat Islam di kedua negeri ini kendati ada jarak yang cukup jauh (12 jam penerbangan) dari Indonesia ke Afrika Selatan. Kedekatan itu tentunya bukan cuma jejak historis selama lebih dari 300 tahun lalu, tapi perkembangan Islam saat ini. Meski kita cuma jadi penonton, tak ada salahnya pesta bola .dunia kali ini dijadikan momentum untuk lebih mendekatkan keduanya.
Agama Islam masuk ke wilayah Afrika sejak abad ke-17. Salah satu penyebarnya adalah warga negara keturunan Indonesia, yakni Syekh Yusuf Makassar. Hingga saat ini, umat Islam di Afrika Selatan mencapai 1,25 juta jiwa atau sekitar tiga persen dari total penduduknya yang berjumlah 49 juta jiwa.
Kendati minoritas, mereka ada di salah satu pusat pertumbuhan Islam terpesat di Benua Afrika saat ini. Sebagai ilustrasi, di Kota Soweto, tak jauh dari Johannesburg, pada pertengahan 1970-an, cuma ada 10 orang Muslim. Namun, pada awal 2002, jumlahnya berlipat seribu kali menjadi sekitar 10 ribu orang.
Masjid dan madrasah sangat mudah dijumpai. Jumlah orang di berbagai townships, pusat-pusat permukiman penduduk berkulit hitam dan miskin, semakin hari terus bertambah yang menjadi Muslim. Setiap tahun berlangsung "Festival Syahadat" yang diprakarsai oleh Syekh Dr Abdalqadir as-Sufi. Sejak awal 2000, ratusan orang memeluk Islam. Terakhir, 22 Mei 2010, sebanyak 71 orang, khususnya dari Suku Zulu, serentak kembali kepada Islam di Durban.
Mengapa Islam menarik mereka? Islam dirasakan sebagai jalan keluar dari ancaman gangsterisme dan problem sosial lain, seperti obat terlarang, kekerasan seksual, wabah korupsi, dan dekadensi moral masyarakat lain yang terus merebak di berbagai kawasan di Afrika Selatan. Perhatian Islam atas nasib kaum miskin menarik hati mereka. Dalam situasi politik rasis puluhan tahun sebelumnya, agama Islam telah dipandang sebagai salah satu bentuk resistensi dan penolakan atas tatanan masyarakat yang didasarkan doktrin apartheid tersebut.

Perlu diketahui bahwa penyebaran agama Islam di Afrika Selatan dimulai terutama oleh para ulama, bangsawan, dan para tahanan politik penjajah Belanda. Hal ini memberikan pengaruh khusus atas perkembangan Islam di Afrika Selatan. Sejarah Islam di sana memang bersamaan dengan sejarah kolonialisme. Islam telah berada di Afrika Selatan selamakurang lebih tiga ratus tahun lamanya. Meski relatif kecil, peran mereka kini semakin besar dan penting.
Media massa Muslim, baik elektronik maupun cetak, sebagai satu indikasi yang mudah dilihat, telah berkembang dan menempati posisi penting di mata publik. Di seluruh Afrika Selatan, pada 2005, diperkirakan terdapat sekitar 455 masjid dan 408 lembaga-lembaga pendidikan mulai dari madrasah, sekolah lanjutan, sampai universitas. Jumlah organisasi sosial dan kesejahteraan, lembaga budaya dan perdagangan, serta media massa mencapai 465 lembaga. Sejak awal 2006, organisasi sosial kemasyarakatan ini bahkan telah meningkat menjadi 1.328 lembaga.
Kaum Muslim di Afrika Selatan terpusat di dua kota besar, yaitu Durban dan Cape Town, selain di Johannesburg, Port Eliazabeth, Pretoria, dan Soweto. Cape Town, khususnya, merupakan pusat keberadaan kaum Muslim di Afrika Selatan. Di sini, jumlah Muslim sekitar 700 ribu orang atau 30 persen dari jumlah penduduknya.
Jadi, suasana di berbagai sudut Cape Town tak ubahnya seperti kota Muslim lain di mana pun penuh orang berpakaian Muslim berlalu lalang, banyak restoran dan kedai halal, serta kubah dan menara masjid tampak menjulang di seantero kota. Di sini pula, anak keturunan Syekh Yusuf al-Makassari dan bangsawan ulama dari nusantara lainnya beserta para pengikutnya bermukim. Oleh pemerintah kolonial Belanda dulu dan diteruskan selama masa Apartheid, mereka disebut sebagai Cape Malay. Jumlahnya sekarang diperkirakan sekitar 170 ribuan orang.
Tapi, istilah Cape Malay ini perlu diberi catatan tersendiri. Achmat Davids, sejarawan setempat, menolak istilah tersebut dengan dua alasan. Pertama, istilah ini digunakan oleh pemerintah kolonial dan menimbulkan tembok pembatas rasial, yang tentu saja tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, dalam kenyataannya, mereka lebih-banyak berasal dari Indonesia dan bukan dari Semenanjung Malaysia. Sampai hari ini, pengaruh kekeliruan tersebut menimbulkan semacam kerancuan di kalangan Cape Muslim-istilah yang lebih disukai oleh Achmat Davids-tentang asal muasal mereka. Kebanyakan dari mereka lebih mengenal dan merasa memiliki ikatan emosional dengan Malaysia dibanding dengan Indonesia.
Menyedihkannya lagi, kesalah kaprahan seperti ini juga ada di tingkat akademisi. Dalam sebuah buku sejarah karya seorang penulis setempat, Mogamat Hoosain Ebrahim, dikatakan bahwa "Nama Syekh Yusuf yang sebenarnya adalah Abidin Tadia Tjoessoep dan ia lahir pada 1626 di Makassar, Selebes (sekarang Sulawesi), salah satu dari kepulauan Malaysia. Begitulah, ibarat peribahasa sapi punya susu, kerbau punya nama.
Terlepas dari soal itu, kita mudah mendapatkan bukti-bukti sejarah tentang keindonesiaan mereka. Selain makam Syekh Yusuf di kota kecil Macassar, sekitar 30 km dari pusat Cape Town, ada sejumlah kosakata Indonesia yang tertinggal dalam percakapan sehari-hari mereka. Kata maaf dan trema (terima) kasih serta jalan-jalan adalah tiga kata yang masih umum dalam percakapan sehari-hari masyarakat Cape Muslim. Kata-kata buka (puasa), bacha (baca) dalam pengertian mendaras Alquran, lebaran untuk hari raya Idul Fitri, serta kramat untuk menyebut makam para wali dan ulama masih dipakai.
Para petugas penyuci jenazah disebut toekamandi. Kata maskav untuk kata maskawin. Sementara itu, nama tempat dalam bahasa Indonesia, selain Macassar yang disebut di atas, ada perkampungan Tana Baru, tempat Tuan Guru, ulama lain asal Indonesia, dimakamkan.
Patut juga ditambahkan karena umumnya masyarakat Cape Muslim sehari-harinya berbicara dalam bahasa Afrikaans, yang berasal dari bahasa Belanda Kuno. Sejumlah kata dan istilah lain yang sama-sama dipakai adalah kantor, karcis, gratis, tas, rok, keran (air), praktik, transaksi, kuitansi, indikasi, polisi, dan semacamnya sampai kata pisang.
Tentu penulisan kata-kata tersebut di sana dan di Indonesia sedikit berbeda. Di negeri ini, kata-kata tersebut mengalami proses Indonesianisasi, sedangkan di Afrika Selatan masih dipertahankan sesuai dengan aslinya meski pengucapannya relatif sama. Malah sebaliknya, yang pernah terjadi atas kebiasaan dan istilah yang semula berasal dari bahasa Indonesia ini adalah Belandanisasi. Misalnya, nama Muhammad" dituliskan Mogamad atau nama Khadijah dituliskan sebagai "Gadijah meski tetap dilafalkan sebagai Muhammad dan Khadijah.

Selain itu, terjadi modifikasi nama-nama nusantara yang semula tidak menggunakan sistem nama keluarga (sure name), ditambahkan nama keluarga, terkait dengan sistem administrasi kolonial. Bagaimana nama-nama orang yang didatangkan dari nusantara itu berubah?
Inilah yang terjadi. Karena orang-orang Muslim nusantara tersebut umumnya diperbudak, penambahan nama keluarga pada belakang nama mereka dilakukan berdasarkan nama keluarga tuan atau pemiliknya. Lazimnya adalah nama Belanda Hendricks, Edwards, Martin, dan sebagainya. Maka, jangan heran kalau nama warga Muslim keturunan Indonesia di Afrika Selatan saat ini merupakan kombinasi yang bagi kita kurang lazim. Terkesan seperti campuran nama Islam dan nama Kristen Sulaeman Edwards, Yusuf Hendricks, Fatimah Vellie, dan seterusnya. Tentu, hal ini pada akhirnya hanyalah kebiasaan. Jadilah nama gado-gado semacam itu.
Satu hal yang patut kita hargai, perhatian dan minat bangsa Afrika Selatan pada Indonesia umumnya sangat besar. Begitu besarnya penghormatan masyarakat Afrika Selatan kepada Syekh Yusuf hingga mereka menganugerahinya The Companions of Oliver Tambo yang diserahkan saat menjelang Ramadhan 1427 Hijrah (2005 M). Selain Syekh Yusuf, hanya ada satu tokoh lain yang pernah mendapatkan penghargaan serupa, yaitu Ir Soekarno, presiden pertama RI. Artinya, mereka telah menyetarakan Syekh Yusuf sebagai pahlawan nasional Afrika Selatan. Ulama ini dipandang sebagai salah satu inspirator bagi pembebasaan bangsa Afrika Selatan dari belenggu politik apartheid.
Penghargaan kepada Syekh Yusuf ini sepatutnya menyadarkan kita untuk merajut kembali persaudaraan sedarah ini. Bagi rakyat Afrika Selatan, terutama kaum Muslimnya, Syekh Yusuf lebih dari sekadar inspirator. Bagi mereka, Syekh Yusuf adalah pembawa api kebenaran melalui Islam. Ia pula yang sejak awal membimbing mereka mempertahankan martabat sebagai manusia merdeka pada masa-masa sulit. Sejumlah tradisi umat Islam di Afrika Selatan, khususnya Provinsi Western Cape, telah diwariskan oleh Syekh Yusuf. Pembacaan surah Yasin dalam beberapa hari setelah kematian satu anggota keluarga masih diteruskan. Tradisi Barzanji tiap Maulid Nabi Muhammad SAW juga masih populer. Secara umum, cara berislam Cape Muslim sangat dekat dengan umat Islam Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA         
-          Widyadara (2003).   NEGARA dan BANGSA. Jilid 2. Jakarta: Widyadara, PT
-          Holland,Julian(2009). ENSIKOPLEDIA GEOGRAFI. Jilid 4. ASIA TIMUR-AFRIKA. Jakarta: PT. Lentera Abadi
-          SUARA MUHAMMADIYAH. EDISI 15. 2004.

 

No comments:

Post a Comment