"Mengenal Sistem Pendidikan Muhammadiyah sebelum Jepang"


Fatimah / S –IV

Latar Belakang
Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi mungkar berakidah Islam dan bersumber kepada Al-Qur an dan Sunnah. Persyarikatan ini berazazkan Islam dan bertujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Secara historis, organisasi ini termasuk yang tertua sesudah Syarikat Islam (1908), didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M di Yogyakarta.

. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan maksud untuk bertafa'ul (berpengharapan baik) dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangan SAW dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya 'Izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai idealita dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita. [1]
Berdirinya organisasi Muhammadiyah ini, menurut Ramayulis dan Samsul Nizar sebenarnya tidak terlepas dari latar belakang pendidikan kegamaan Ahmad Dahlan yang sejak kecil dididik oleh ayahnya K.H. Abu Bakar seorang imam dan khatib masjid besar Kraton Yogyakarta. Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur an dan kitab-kitab agama. Kemudian, beliau juga belajar dengan K.H. Muhammad Saleh (ilmu Fiqh), K.H. Muhsin (ilmu Nahwu), KH. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfuz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qiraat al-Qur an) serta beberapa guru lainnya.
Selanjutnya Ramayulis dan Samsul Nizar mengungkapkan, setelah beberapa tahun belajar dengan gurunya beliau berangkat ke tanah suci pada tahun 1890 dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan kunjungannya itu, pada tahun 1903 ia berangkat kembali dan menetap di sana selama dua tahun. Selama berada di Mekkah ini ia banyak bertemu dan bermuzakarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim disana, di antaranya Syekh Muhammad Khatib Al-Minangakabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah dan Kiyai Fakih Kembang. Pada saat itu pula ia mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh refomer Islam seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh ulama reformer tersebut telah membuka wawasan Dahlan tentang universalitas Islam. Ide-ide reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur an dan Sunnah.
            Dari sumber-sumber di atas dapat dipahami, bahwa K.H. Dahlan berasal dari lingkungan terpelajar. Pendidikan agama diterimanya dari orang tuanya dan dengan guru-guru setempat. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa dan pemikiran dan pandangan ke depannya. Apalagi setelah pendidikannya dilanjuitkan kepada pendidikan yang lebih tinggi yaitu rihlah ilmiah ke Mekkah. Di sini dia menelaah pemikiran tokoh-tokoh pembaharu Timur Tengah, sehingga wawasannya semakin luas. Dengan luasnya padangan keagamaan yang dimilikinya bertambah pula kesadarannya bahwa kemunduran umat Islam disebabkan oleh pola berfikir statis, dan bercampurnya amalan Islam dengan syirik takhyul, bid'ah dan khurafat. Hal-hal seperti inilah yang mendorong Ahmad Dahlan melakukan pembaharuan di Indonesia.
1.            Dasar Pembaharuan Pendidikan Muhammadiyah
Bila diperhatikan secara umum, menurut Ramayulis dan Samsul Nizar, hampir seluruh pemikiran Dahlan tentang pendidikan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan (stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke Mekkah. Kemudian ide itu lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. Hal ini berarti, bahwa kedua kunjungannya merupakan proses awal terjadinya kontak intelektualnya baik secara langsung maupun tak langsung dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah pada awal abad XX.
Secara global, ide-ide pembaharuan Ahmad Dahlan menurut Ramayulis dan Samsul Nizar dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari khurafat, tahayul, dan bid'ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam. Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.
Dari sumber sejarah di atas, dapat dipahami bahwa dasar pembaharuan bidang pendidikan Muhammadiyah  tidak terlepas dari kondisi sosial bangsa Indoneia yang tenggelam dalam kebodohan, kejumudan, dan khusus bagi umat Islam hidup bergelimangan dengan syirik, takhyul, bida'ah dan khurafat. Untuk memajukan umat Islam, langkah yang diambil oleh Ahmad Dahlan merupakan langkah yang amat strategis yaitu melakukan permurnian (purfpikasi) terhadap ajaran Islam dan mengajak umat Islam untuk keluar dari rawa-rawa pemikiran tradisional dengan jalan meningkatkan ilmu pengetahuan melalui sarana pendidikan.
            Ide-ide pembaharuan tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui pendidikan. Menurut Ahmad Dahlan pendidikan juga merupakan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya didik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memetakan dinamika kehidupan pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajukan umat Islam adalah kembali kepada al-Qur`an dan hadis, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan.Tetapi pendidikan yang dimaksud oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah pendidikan yang berorientasi pada pendidikan moderen, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisonal secara integral [2]
Menurut Abuddin Nata, untuk mewujudkan cita-citanya itu, pada tahun 1911 Ahmad Dahlan membuat proyek unggulan yaitu mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin. Di sekolah inilah pendidikan agama diberikan oleh Ahmad Dahlan disamping pengetahuan umum diajarkan oleh salah seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi guru di sekolah pemerintah. . Kemudian, setelah Muhammadiyah berdiri tahun 1912 madrasah tersebut resmi menjadi amal usaha Muhammadiyah.
Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa K.H. Ahmad Dahlan dalam menyusun ide-ide pembaharuannya bertolak dari kondisi sosial umat Islam pada waktu itu atau dalam ungkapan lain disebut berdasarkan kepada kajian lapangan. Kemudian, ditambah dengan rihlah ilmiahnya ke Timur Tengah Jadi, pada awal abad ke-20 Ahmad Dahlan telah berfikir secara sistematis, terencana dan manajerial sesuai dengan konsep pengembangan pendidikan moderen. Selanjutnya, untuk menyelamatkan umat dari penjajahan fisik kolonial Belanda dan penajajahan syirik, takhyul bid'ah dan khurafat dan kemiskinan dan kebodohan adalah melalui sarana pendidikan. Di sini terlihat Ahmad Dahlan menabuh genderang perang pemikiran terhadap pola pemikiran tradisional yang dianut oleh mayoritas umat Islam pada waktu itu.
Jadi, berarti pola pemikiran Ahmad Dahlan hampir sama dengan pola pemikiran Syekh Mohammad Abduh. Menurut Abduh bahwa revolusi dalam bidang politik tidak akan ada artinya, sebelum ada perubahan mental secara besar-besaran dan dilalui secara berangsur-angsur atau secara evolusi. Tegasnya bagi Muhammad Abduh dalam rangka memperjuangakan terwujudnya 'izzul Isalam wal muslimin di samping umat Islam harus berani merebut kekuasaan politik kenegaraan, maka terlebih dahulu yang perlu dibenahi adalah memperberbaharui sember-sumber para mujaddin dan ulama. Lewat sumber-sumber inilah akan lahir kader-kader pembaharu yang akan menyebar ke seluruh dunia.
2.           Landasan Pendidikan Muhammadiyah
Landasan pendidikan menurut Ahmad Dahlan adalah Al-Qur an dan sunnah, karena keduanya merupakan sumber dan dalil hukum dalam Islam. Islam menekankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesata, baik alam makro maupun mikro. Meskipun dalam banyak tempat al-Qur`an senantiasa menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al-Qur`an juga juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Ada fenomena yang tak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia (Q.S 13:2; 31:10; 63:3). Hal ini disebabkan, karena wujud yang ada di alam ini memiliki dua dimensi, yaitu pisika dan metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.
            Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik (manusia) mendayagunakan berbagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi inderawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham.
      Oleh karena itu, aktivitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan ke semua dimensi tersebut. Menurut Dahlan, pengembangan tersebut merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengtahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip al-Qur`an dan sunnah, bukan semata-mata dari kitab tertentu.
Dari sumber-sumber di atas, dapat dipahami bahwa landasan pendidikan Islam menurut Ahmad Dahlan adalah Al-Qur an dan hadis, maka dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam juga sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur an yaitu sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi, dalam ungkapan lain disebut dengan rehumanisasi yaitu mengembalikan kedudukan manusia kepada kedudukan yang sebenarnya yaitu sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam tersebut, manusia harus mengembangkan potenmsi dirinya melalui pendidikan. Potensi diri itu sebagaimana yang dianugerahkan oleh Allah antara lain; fitrah beragama, potensi akal, roh, qalbu dan nafs.
3.         Tujuan Pendidikan Muhammadiyah
Mengenai tujuan pendidikan menurut Ahmad Dahlan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh yaitu Al-Qur an dan Sunnah. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai `abd Allah dan khalifah fi al-ardh. Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah al-ruh dan al-`aql. Untuk itu, media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar penunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia epada Khaliqnya. Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoretis dan metodologis bagaimana menata hubungan yana harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptannya.
Melalui paparan di atas, terlihat kerangka berfikir Ahmad Dahlan bahwa pendidikan Islam berdasarkan kepada Al-Qur an dan sunnah, sebagai pedoman bagi umat manusia. Maka seluruh aktifitas kehidupan harus didasarkan kepada kedua sumber hukum ini.
4.         Materi Pendidikan Muhammadiyah
            Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam, maka materi pendidikan menurut Dahlan, adalah pengajaran al-Qur`an dan Hadis, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Materi al-Qur`an dan Hadis meliputi; ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran al-Qur`an dan Hadis menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti). [3]
            Di samping itu, menurut Abuddin Nata, bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materiil. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Dengan pendapatnya itu, sesungguhnya Ahmad Dahlan mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.
Berangkat dari gagasan di atas, maka menurut Dahlan pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, 'alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai 'abd maupun khalifah fi al-ardh. Untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spritualitas peserta didik. Menurur Dahlan, upaya ini akan terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Proses pendidikan yang demikan pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni "intelektual ulama" yang berkualitas.
Adapun intelek ulama yang berkualitas yang akan diwujudkan itu harus memiliki kepribadian Al-Qur an dan Sunnah. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan memiliki pandangan yang sama dengan Ahmad Khan mengenai pentingnya pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Dia berpendapat bahwa tidak seorangpun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan di akhirat kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seorang yang berkepribadian yang baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur an dan Hadis. Karena Nabi merupakan contoh pengamalan Al-Qur an dan Hadis, maka dalam proses pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pada kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dimaklumi bahwa Ahmad Dahlan dalam menetapkan materi pendidikan mengacu kepada tujuan pendidikan yaitu menjadi hamba dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk itu, diperlukan materi pendidikan agama dan pendidikan umum sekaligus. Karena menurut Ahmad Dahlan tugas sebagai kahalifah Allah yaitu memakmurkan alam semesta diperlukan pengetahuan umum.
Ada beberapa hal yang menarik, Ahmad dahlan telah menetapkan materi pendidikan berdasarkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat. Dalam istilah yang populer berdasar kepada kajian lapangan, dan tampaknya konsep inilah yang sekarang disebut dengan analisa SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman).
5.         Metode Pengelolaan Pendidikan Muhammadiyah
Mengenai teknik pengelolaan Ahmad Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif.
Adapun pembaharuan pendidikan bidang teknik penyelenggaraan, yang dilakukan meliputi metode, alat dan sarana pengajaran, organisasi sekolah serta sistem evaluasi. Bentuk pembaharuan teknis ini diambil dari sestem pendidikan moderen yaitu mengelola pendidikan dengan berdasarkan ukuran-ukuran ilmiah dan rasional serta menjauhkan diri dari pengaruh tradisi yang tidak menguntungkan seperti memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum. Dari perpaduan ini, menurut Nakamura, maka pendidikan Muhammadiyah.memperoleh hasil yang berlipat ganda. Pertama, menambah kesadaran nasional bangsa Indonesia melalui ajaran Islam; Kedua, melalui sekolah Muhammadiyah, ide pembaharuan bisa disebarkan secara luas; ketiga, mempromosikan ilmu pengetahuan praktis dari pengetahuan moderen.
Dari sumber-sumber di atas, nyatalah bahwa Ahmad Dahlan benar-benar seorang pemikir dan pembaharu dalam dunia pendidikan. Pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan telah menjangkau pola pemikiran moderen sekarang ini. Misalnya dalam pelaksanaan pendidikan yang terkait dengan penyempurnaan kurikulum, Ahmad Dahlan telah memasukkan materi pendidikan agama dan umum secara integratif kepada lembaga pendidikan sekolah yang dipimpinnya, kemudian memperkokoh kepribadian intelek ulama. Hal ini sesuai dengan pola pengembangan pendidikan mutaakhir yang meletakkan tiga validitas. Menurut Ahmad Watik Pratiknya, pertama validitas luar, yaitu sejaumana produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan pangsa pasar, kedua, validitas dalam yang menyangkut dengan proses pembelajaran yang berkaitan dengan penyempurnaan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, ketiga, pembentukan kepribadian yang kokoh yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan ajaran Islam. [4]
6..        Perkembangan Amal Usaha Muhammadiyah Bidang Pendidikan
Sejalan dengan dinamika sosial yang penuh dengan tantangan zaman, mulai sejak zaman kolonial Belanda, zaman Jepang dan zaman kemerdekaan sampai sekarang Muhammadiyah dengan segala kepiawaian para pemimpin pada setiap eselon dalam jajarannya telah melaksanakan misinya dengan bergelut dan bergulan dengan segala tantangan. Akhirnya, Muhammadiyah masih tetap eksis, bertahan dan berkembang dengan segala amal usahanya.
Secara garis besar dan berurutan perkembangan amal usaha Muhammadiyah bidang  pendidikan sejak awal berdiri.Pada tahun 1911 Ahmad Dahlan membuat proyek unggulan yaitu mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin. Di sekolah inilah pendidikan agama diberikan oleh Ahmad Dahlan disamping pengetahuan umum diajarkan oleh salah seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi guru di sekolah pemerintah. . Kemudian, setelah Muhammadiyah berdiri tahun 1912 madrasah tersebut resmi menjadi amal usaha Muhammadiyah. Kemudian, untuk meluaskan kegiatan pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah di Karangkajen, tahun 1915 di  Lempuyangan, dan Pasar Gede tahun 1916. Sampai wafatnya K.H. Ahmad Dahlan
Sampai tahun 1923 Muhammadiyah telah memiliki 14 Cabang dan delapan jenis sekolah dengan murid 1.019 orang dengan 73 orang guru. Sekolah-sekolah tersebut adalah, Opleiding School di Magelang, Kweek School di Magelang dan Purworeja, Norma Shool di Blitar, NBS. Di Bandung, Algemeene Midalbare School di Surabaya, TS. Di Yogyakarta, Sekolah Guru di Kota Gede, Hoogere Kweek School di Poerworejo. Sekolah lain dan pondok telah berdiri sebelum Muhammadiyah berdiri dan diresmikan sebagai amal usaha Muhammadiyah setelah Muhammadiyah berdiri. Untuk mendirikan sekolah-sekolah tersebut konon kabarnya K.H. Ahmad Dahlan sampai ada yang menjual alat perabotnya.
Kemudian, menurut Zuhairini dkk, sampai tahun 1925 Muhammadiyah telah mempunyai 29 Cabang dengan 4.000 orang anggota dengan amal usaha sebanyak 32 sekolah dasar lima tahun dengan 4.000 murid, dan 119 orang guru. Dalam bidang kesehatan telah membangun dua buah klinik dengan 12.000 pasien. Pada Kongres tahun 1929 tercatat 19.000 oanggota Muhammadiyah. Pada Kongres 1930 yang bertempat di Bukittinggi tercatat 112 Cabang dengan jumlah anggota 24.000 orang. Pada tahun 1935 meningkat menjadi 43.000 dengan 710 Cabang, dan pada tahun 1938 jumlah Cabang menjadi 852 dengan 250.000 anggota. Jumlah mesjid dan langgar 834, perpustakaan umum 31 buah sekolah 1.774. Jumlah muballigh atau propagandis 5.516 laki-laki dan 2.114 wanita.
Berdasarkan data di atas, dapat dimaklumi dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang dengan berbagai tekanan dan rintangan dari pihak penjajah, namun Muhammadiyah masih bisa melaksanakan misinya terutama bidang pendidikan. Walaupun pada masa penjajahan Belanda, guru-guru Muhammadiyah ada yang dilarang mengajar, karena sekolah-sekolah Muhammadiyah ada yang dicurigai disebabkan sekolah-sekolah tersebut terkesan mengajarkan nilai-nilai kebangsaan. Demikian pula pada zaman penjajahan Jepang, di mana seluruh masyarakat dikerahkan untuk mempertahankan Jepang dari ancaman sekutu. Jadi, tidak terbayangkan dalam suasana yeng begitu sulit Muhammadiyah masih tetap berperan dan berkiprah melaksnakan misinya.
Selanjutnya, kata Zuhairini, sampai tahun 1957 Muhammadiyah telah memiliki Madrasah Ibtidaiyah 412 buah, Madrasah Tsanawiyah 40 buah, Madrasah Diniyah Awaliyah 82 buah, Madrasah Mu'alimin 73 buah, Madrasah Pendidikan Guru Agama 75 buah, sekolah rakyat 445 buah, SMP 230 buah, SMA 30 buah, Taman Kanak-Kanak 66 buah, SGB 69 buah, SGA 16 buah, Sekolah Kepandaian Putri 9 buah, SMEP, 3 buah, SGTK 2 buah, SMEA, SGKP, Sekolah Guru Pendidikan Jasmani, Sekolah Pendidikan Kemasyarakatan, Sekolah Putri 'Aisyiyah, Fakultas Hukum dan Filsafat dan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru masing-masing 1 buah. [5]

Dari data di atas terlihat secara kuantitatif Muhammadiyah memiliki ribuan amal usaha dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, pendidikan dan ekonomi, dan dinilai sebagai organisasi yang terbanyak amal usahanya. Dan dapat pula diketahui bahwa gerakan Muhammadiyah di masa kemerdekaan sudah barang tidak luput pula dari segala tantangan rintangan masih dapat juga melaksanakan misinya sesuai dengan dan cita-cita pendirinya.
Begitu banyaknya amal usaha Muhamadiyah, namun, bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang pada saat ini lebih dari 210 juta, maka amal usaha Muhammadiyah mungkin belum menyentuh kebutuhan mayoritas penduduk Indonesia apalagi yang berada di akar rumput dan yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam hal ini benarlah apa yang dikemukakan oleh Marwah Daud dalam suatu tulisannya yang berjudul "Muhammadiyah: Perjalanan Masih Panjang Pekerjaan Masih Banyak". Yang jelas, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam membangun agama, bangsa dan negara.

Daftar Pustaka
[1]        Mushtafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gera-  kan Islam, Dalam Perspektif Historis dan Idilogis, Yogyakarta, 2000.
[2]        M. Yunan Yusuf, dkk. Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta : PP. Muhammadiyah & Grafindo Persada, 2005
[3]        Mulkham, Abdul Munir, Pemikiran, K.H. Ahmad Dahlan, dan Muhammadiyah Da-  lam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta : Bumi Aksara, 1990.

---------Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan, dan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta, Percetakan Persatuan 1990
[4]        Sirajuddin Zar, dkk Muhammmadiyah di Indonesia 1959-1966, Perkembangan Pemikiran Keagamaan Serta Perannya Dalam Gerakan Sosial dan Politik (Laporan Penelitian) Padang: IAIN IB, 1998
[5]        Syukriyanto AR & Abdul Munir Mulkham (Ed), Pergumulan Pemikiran Dalam Muhammadiyah, Yogyakarta, SIPRES, 1990




















No comments:

Post a Comment