"PENDIDIKAN DAYAH DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM"

Yara Tifany/2B/S P

 

1.      Pendidikan Dayah

            Dayah di Aceh diyakini ada sejak 800 M. Tertua bernama Cot Kala. Tidak dapat dipungkiri, pondok pesantren atau yang lebih dikenal di kalangan masyarakat Aceh dengan istilah dayah mempunyai peranan penting dalam proses tumbuh dan berkembangnya pendidikan Islam di Nusantara.

      Keunikannya juga telah membuat hampir setiap orang mengenalnya. Kepercayaan diri dan kebanggaan atas ketradisionalitasannya justru merupakan faktor yang membuat dayah semakin survive, bahkan dianggap sebagai alternatif dalam hegemoni modernisme masyarakat masa kini.

           Keberadaan dayah sendiri diyakini telah ada sejak masuknya agama Islam di Aceh. Yakni pada tahun 800 M. Saat itu para pedagang dan mubaligh yang datang dari Arab berlabuh di daerah pesisir Sumatera. Selain melakukan aktivitas perdagangan, para pedagang dan mubaligh ini juga pro aktif menyebarkan agama Islam. Untuk lebih mempercepat proses penyebarannya, maka didirikanlah dayah yang pada waktu itu berfungsi sebagai media transformasi pendidikan Islam kepada masyarakat.

          "Cikal bakal berdirinya dayah itu muncul pada awal-awal Islam masuk di Aceh yang bertujuan untuk mendidik masyarakat agar dapat lebih memahami ajaran-ajaran agama, disamping juga untuk menyebarkan agama Islam di nusantara khususnya di Aceh," ujar Kepala Museum Aceh, Nurdin AR.

          Nama dayah sendiri diambil dari Bahasa Arab; zawiyah. Istilah zawiyah, secara literal bermakna sudut, yang diyakini oleh masyarakat Aceh pertama sekali digunakan adalah sudut Masjid Madinah, ketika Nabi Muhammad memberi pelajaran kepada para sahabat pada awal diturunkannya agama Islam. Pada abad pertengahan, kata zawiyah dipahami sebagai pusat agama dan kehidupan sufi yang kebiasaannya menghabiskan waktu di perantauan. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada waktu-waktu tertentu juga dijadikan sebagai pondok bagi para pencari ilmu-ilmu agama.

            Seiring berjalannya waktu, peran dan fungsi dayah juga berkembang. Dayah tidak lagi sebatas tempat pendidikan keagamaan, tetapi juga menyentuh ranah sosial politik dan menjadi tempat untuk menjaga manuskrip serta kitab-kitab kuno yang langka.

            "Dayahlah yang telah mendidik rakyat Aceh pada masa lalu sehingga mereka ada yang mampu menjadi raja, menteri, panglima militer, ulama, ahli teknologi perkapalan, pertanian, kedokteran, dan lain-lain," ujar Prof DR M Hasbi Amiruddin, MA dalam makalahnya berjudul "Program Pengembangan Dayah di Aceh".

            Menurut ensiklopedi agama Islam (Departemen Agama, 1993), tercatat bahwa dayah tertua di Aceh adalah dayah Cot Kala yang sudah berdiri sejak abad ketiga hijriah. Dayah tersebut menjadi pusat pendidikan Islam pertama di Asia Tenggara dengan tenaga-tenaga pengajar yang didatangkan dari Arab, Persia, dan India. Setelah Cot Kala, generasi berikutnya adalah Dayah Kan'an di wilayah Lam Keuneu'eun, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, yang didirikan pada abad ketujuh hijriah oleh Syekh Abdullah Kan'an, penyebar Islam berdarah Palestina.

            Peranan dayah sebagai pusat lembaga pendidikan Islam mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu berdiri dayah manyang (setara perguruan tinggi) yang berpusat di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, dan memiliki tak kurang dari 44 guru besar yang sebagian berasal dari Persia dan India. Di sinilah kader-kader ulama dan cendikiawan muslim terkemuka memperoleh pendidikan. Mereka tidak hanya datang dari Sumatera, tetapi juga dari berbagai wilayah lain di Asia Tenggara. Dari sini mereka mulai membentuk jaringan intelektual atau ulama di seluruh dunia, hingga dikenal sebagai lima negara Islam super power dunia.

            Selain Kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan lain yang menjadi kekuatan besar Islam pada masa itu adalah Kerajaan Turki Usmaniyah yang berpusat di Istanbul, Kerajaan Islam Maghribi di Afrika Utara, Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah, dan Kerajaan Islam Agra di India.

            Saat ini, dayah tertua dan masih tetap berdiri adalah Zawiyah Tanoh Abe, Seulimeum, Aceh Besar, yang lahir pada awal abad ke 17 M. Zawiyah ini menyimpan sekitar 4.000 manuskrip dan berbagai macam kitab kuno tulisan tangan karangan paraulama Aceh tempo dulu.

            Pada masa perang Acjeh, dayah kembali menunjukkan peran pentingnya. Selain sebagai tempat menyusun strategi, sebagian dayah pada masa itu menjadi semacam lembaga pemberi ijazah atau legitimasi bagi para panglima maupun prajurit sebelum terjun ke medan perang. "Hampir semua tokoh-tokoh Aceh pada masa itu ikut berperang melawan Belanda sampai pada era kemerdekaan. Mereka semua dididik dan dibesarkan di dayah-dayah," urai Teungku Bulqaini Tanjungan, pimpinan Markaz Al-Ishlah Aziziyah. Tokoh-tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah hasil didikan dayah diantaranya ialah, Tgk H Syeh Abdul Wahab yang menganut Tarekat Syathariah dan merupakan pejuang pada zaman kemerdekaan. Tokoh lain: pimpinan kelima Zawiyah Tanoh Abe, Tgk. Chiek Tanoh Abee, yang menjadi penasihat perang Aceh. Sistem manajemen yang kurang baik, ditambah kurangnya regenerasi, telah membuat sebagian dayah-dayah di Aceh pada abad ke- 20 M mengalami banyak penyusutan. Hal itu sangat bertolak belakang dengan nasib yang dialami dayah/pesantren di luar Aceh, khususnya pesantren-pesantren di pulau Jawa, yang pada saat bersamaan justru semakin berkembang. Nurdin menjelaskan, bahwa kebanyak-an dayah-dayah di Aceh didirikan dengan memakai kekayaan keluarga pendirinya. Jika pimpinan dayah meninggal, biasanya dayah yang ditinggalkan akan ikut mati. Hal itu dikarenakan, harta kekayaan yang dimiliki dayah tersebut cenderung dibagikan ke sanak familinya dan bukan menjadi hak penuh bagi kegiatan dayah itu sendiri. "Tidak seperti sistem pesantren di pulau Jawa, contohnya saja pesantren Gontor. Di Gontor, jika pimpinan pesantrennya meninggal, harta-harta dari pesantren maupun harta yang dikumpulkan oleh pendiri pesantren itu tidak dibagikan kepada anak-anaknya, melainkan kembali diwakafkan ke pesantren tersebut. Makanya pesantren Gontor bisa terus berkembang hingga ke pelosok nusantara," tuturnya.

            Namun kini di era globalisasi yang membutuhkan asupan informasi yang semakin besar, mau tidak mau membuat sebagian dayah di Aceh tampil dengan wajah baru yang lebih modern. Sistem pembelajaran maupun pengelolaan manajemennnya pun berubah menjadi lebih canggih. Metode pembelajaran yang diajarkan tidak lagi hanya mencakup ilmu agama saja, melainkan juga mulai mengadopsi metode pendidikan di sekolah-sekolah barat, seperti mengajarkan aritmatika, ilmu sains, naskah latin, bahasa asing, dan lain sebagainya."Kan pendidikan juga harus mengikuti tuntutan pasar. Kalau di pesantren kalaf 100 persen, itu menjadi tidak menarik. Setelah tamat pesantren mereka mau kemana? Kan tidak mungkin menjadi ketua meunasah semua. Bagaimanapun pendidikan juga harus menopang hidup," ujar Nurdin. Pandangan yang sedikit berbeda diutarakan Tgk Bulqaini. Menurut teungku lulusan dayah salafiah ini, keberadaan dayah-dayah modern yang semakin marak di Aceh ini tidak dapat dikategorikan sebagai dayah tetapi lebih kepada Madrasah Aliyah Negeri (MAN) plus. Bulqaini pun kurang sependapat dengan adanya pihak-pihak yang menginginkan adanya perubahan terhadap dayah salafiah. "Tidak usah ada perubahan, biar aja seperti itu. Karena apapun cerita, bertahannya Islam di Aceh dikarenakan jasa yang sangat besar dari kaum dayah," ujarnya. Terlepas dari hal tersebut, dayah masih tetap menjadi pilihan utama bagi sebagian besar masyarakat Aceh, terutama masyarakat yang tinggal di pelosok-pelosok perkampungan. Para orang tua di daerah ini lebih banyak memasukkan anaknya di dayah daripada di sekolah umum. "Dayah sampai saat ini masih menjadi pilihan utama bagi para orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Malah dayah salafiah yang murni mengajarkan ilmu agama yang lebih banyak diminati," kata Tgk Bulqaini, lagi. Melihat tingkat kepopularitas dayah yang sangat besar, tidak sedikit pihak yang memanfaatkan dayah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. "Saat ini ada sebagian dayah yang digunakan untuk tujuan politik tertentu yang sama sekali sekali tidak berhubungan dengan ajaran-ajaran agama Islam," ujar Tgk Bulqaini.

            Saat ini di Aceh tercatat ada sekitar 1000 dayah/pesantren yang berhasil didata Dirjen Pengembangan Agama Islam Departemen Agama. Pesantren itu tersebar di seluruh kabupaten/kota. Disadari atau tidak, dayah telah menjadi bagian vital dalam sejarah Aceh; sejak zaman kerajaan Samudera Pasai hingga era sekarang. Dayah jua lah yang telah mendidik ulama-ulama Aceh sehingga dapat mengharumkan nama Aceh di seluruh penjuru dunia. [1]

2.      Pimpinan Dayah

            Pimpinan dayah ialah pengasuhan santri di dayah yang membina seluruh kegiatan santri di dalam dayah maupun di luar dayah, di tempat pelatihan santri, supaya santri bisa mandiri, keterampilan yang diberikan harus sesuai daerah asal santri tersebut. Supaya selesai pendidikan di dayah santri pulang dan dapat mengembangkan/meningkatkan potensi daerah masing-masing. Kegiatan-kegiatan pengasuhan santri meliputi kegiatan santri metode pislufis, metode tablek, metode klasikal, metode dakwah, metode pengajian, metode kurikulum, dan kegiatan santri/siswa/mahasiswa berorganisasi.

3.      Program pendidikan Dayah I

·         Santri mukmin ahlak plus wirausaha

Program santri mukmin 6 bulan yang disediakan di dayah sebagai salah satu program dengan tujuan berupaya membentuk santri yang memiliki mental wirausaha yang berjiwa leadership dengan beberapa tahapan/maehalal, tahapan/marhalal satu pembangunan karakter.

·         Santri Dauroh Qolbiyah

Merupakan program santri mukmin yang waktunya paling singkat yaitu 1 bulan, program santri ini menitik beratkan kepada bagaimana pembentukan pribadi santri yang senantiasa mengoreksi dan memperbaiki diri mnuju Ridha Allah SWT.

·         Santri Karya

Adalah santri ikhwan dan akhwat yang mempunyai kewajiban untuk berkarya/berkerja di dayah, santri karya ini mendapatkan beasiswa tiap bulannya dan hak-hak lain seperti umumnya karyawan

·         Santri siap guna

Lebih dititik beratkan sebagai pelayan masyarakat baik dibidang dakwa, ekonomi, maupun sosial.

·         Santri beasiswa

Santri beasiswa yang merupakan secara administratif bebas dari biaya pendidikan karena seluruh pendanaan di tanggung oleh lembaga donor di selenggarakan atas permintaan lembaga-lembaga yang bekerja sama dengan dayah.

·         Dirosah islamiyah

Program ini peserta bisa memilih paket klasikal atau privat dengan materi ilmu-ilmu keislaman

4.      Program pendidikan Dayah II

·         Madrasah tsanawiyah plus

Madrasah Tsanawiyah (MTS) Plus yang diajarkan, kurikulum pendidikan islam dan pnsisikan umum seimbang dan di tambah ketrampilan unit usaha, budaya, adat istiadat, lingkungan setempat, dan model dayah.

·         Madrasah alyah plus

Madrasah alyah (MA) Plus yang diajarkan kurikulum pendidikan islam dan pendidikan umum yang seimbang dengan model dayah, di tambah juga keterampilan unit produksi supaya santri bisa mandiri, yang beradaptasi dengan budaya, adat istiadat, dan lingkungan setempat.

·         Sekolah menengah kejuruan (SMK) PLUS

Sekoah menengah kejuruan (SMK) Plus, kurikulum yang diajarkan pendidikan agama islam dan kurikulum teknologi dan manajemen, keterampilan, budaya, adat istiadat, lingkungan setempat, dengan sistem dayah.

·         Institut agama islam plus

Kurikulum yang diajarkan kajian agama islam dan ilmu pengetahuan umum dan keterampilan terpadu, budaya, adat istiadat, lingkungan setempat model dayah.

·         Pengajian tradisional

Pengajian tradisional dibagi 6 jenjang, sesuai dengan kurun waktu tinggal di dayah, karena santri pengajian tradisional adalah terdiri dari siswa dan siswi MTS, SMP, MA, SMA, SMK, Mahasiswa, dan masyarakat sekitarnya, materi pengajian di sesuaikan tingkat umur peserta pengajian.

5.      Program Pendidikan dayah III

Merupakan lembaga pendidikan guru islam yang mengutamakan pembentukan kepribadian dan sikap mental, dan penanaman ilmu pengetahuan islam.

Terdapat 2 macam program yang ditempuh siswa :

·         Program reguler

Program ini diperuntukkan bagi siswa lulusan sekolah dasar atau Madrasah Ibtidayah, dengan masa belajar 6 tahun, yaitu ditempuh dari kelas secara berurutan sampai pada kelas 6.

·         Program intensif

Program ini di ikuti oleh siswa-siswi lulusan SMP atau MTS dan di atasnya, dengan masa belajar 4 tahun dengan urutan kelas 1-3-5-6. Kelas intensif sebenarnya diselenggarakan pada kelas 1 dan 3, karena itu disebut kelas 1 intensif dan 3 intensif, sedangkan kelas 5 mereka belajar secara reguler bersama-sama dengan lulusan SD atau MI yang juga duduk dikelas 5, demikian pula halnya dengan kelas 6. Pada kelas intensif (kelas 1 dan 3) sebagian materi umum tidak diajarkan, sedangkan mata pelajaran berhitung dan matematika diajarkan sengan alokasi waktu setengah dari waktu kelas reguler. Adapun mata pelajaran bahasa inggris tetap di ajarkan secara seimbang dengan kelas reguler, alokasi mata pelajaran uum juga tidak diajarkan di isi dengan mata pelajaran kelompok bahasa arab dan kelompok islamiyah.

·         Jam belajar

Jam belajar santri di dayah berlangsung dari jam 07.00 WIB s.d 12.15 WIB. Waktu belajar tersebut dibagi menjadi 6 jam pelajaran masing-masing mendapat alokasi waktu.

·         Tujuan

Tujuan pembelajaran di dayah adalah mencetak seperti santri yang mukmin, muslim, taat menjalankan dan menengakkan syariat islam, berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, berfikir bebas, serta berkhidmat kepada bangsa dan negara.[2]

·         Kurikulum

Kuriklum yang diterapkan di dayah dapat dibagi menjadi beberapa bidang studi, sebagai berikut : bahasa arab (semua disampaikan dalam bahasa arab) Kelas 2 ke atas seluruh mata pelajaran ini menggunakan bahasa arab, kependidikan dan keguruan, bahasa inggris bahasa mandarin, ilmu pasti, ilmu pengetahuan ala, dan ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan teknologi dan manajemen, akuntansi, dan perbankan syariah.

Komposisi kurikulum semacam di atas ditetapkan untuk tujuan tertentu, pengetahuan bahasa ara dimaksudkan untuk memebekali santri berkemampuan berbahasa arab yang menjadi kunci untuk memahami sumber-sumber islam dan khasanah pemikiran islam. Sedangkan bahasa inggris dan mandarin untuk media komunikasi modern dan menfalitasi pengetahuan umum, bahkan pengetahuan agama, karena saat ini tidak sedikit karya-karya dibidang studi islam. Dalam kurikulum dayah diupayakan terwujudnya keseimbangan dan perpaduan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum (ilmu pasti, IPA, dan IPS) dan juga ilmu teknologi dan manajemen, akuntansi, dan perbankan syariah. Mata pelajaran kewarganegaraan adalah untuk memahami mengikuti, dan menghargai tradisi, budaya, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh orang tua aceh terdahulu dan bangsa indonesia.[3]

6.      Ciri khas dayah

Siswa/mahasiswa dayah diharapkan dapat menguasai Al-Qur'an secara mendalam, terampil berkomunikasi menggunakan bahsa-bahasa antar bangsa yang dominan, berpendekatan ilmu pengetahuan, berketeampilan tinggi, menguasai teknologi, berbadan sehat, berjiwa mandiri, penuh perhatian terhadap aspek dinamika kelompok dan bangsa, berdisiplin tinggi serta berkesenian yang memadai.

7.      Jenjang pendidikan

Jenjang pendidikan formal yang diaksanakan :

·         Pendidikan anak usia dini (PAUD), mulai usia 4 tahun.

·         Tingkat dasar (Ibtidaiyah), yaitu kelas 1 sampai 6, ditempuh selama 6 tahun.

·         Tingkat menengah (Tsanawiyah-Aliyah), kelas 7 sampai 12 ditempuh selama 6 tahun

·         Tingkat tinggi (Jamilah), kelas 13 sampai 20, ditempuh selama 8 tahun.[4]

Jenjang pendidikan non formal yang dilaksanakan :

·         Pendidikan komputer tingkat dasar

·         Pendidikan komputer untuk jenjang pendidikan komputers ampai tingkat master

·         Pendidikan bahasa ibu (bahasa aceh), bahasa indonesia, bahasa arab, inggris, dan mandarin untuk jenjang pendidikan bahasa arab, inggris, dan mandarin tingkat master

·         Bagi masyarakat sekitar melalui PKBM (Pusat kegiatan belajar masyarakat) dayah membuka kelas dewasa untuk keterampilan baik pertanian, perternakan, perikanan, pertukangan dan juga kelas KF (Keaksaraan Fungsional) bagi mereka yang belm dapat membaca dan menlis.

8.      Universitas Dayah

·         Fakultas pertanian terpadu

·         Fakultas kedokteran terpadu

·         Fakultas teknik terpadu

·         Fakultas teknologi informasi terpadu

·         Fakultas bahasa terpadu

9.      Sarana dan prasarana pendukung dayah

·         Klinik Dayah

·         Radio Dayah

·         Majalah Dayah

·         Koperasi dayah

DAFTAR PUSTAKA

1)       https://www.facebook.com/DayahBaitulWaliyah/posts/169706926547107

2)       Idris, Safwan. 1998. Pendidikan di Aceh. Banda Aceh: MajelisPendidikan Daerah.

3)       http://digilib.upi.edu/administrator/fulltext/d_adpen_039737_khairuddin_chapcha1.pdf

4)    http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ELEKTRO/195512041981031BACHTIAR_HASAN/Makalah_Sistem_Pendidikan_Terpadu.pdf

 

No comments:

Post a Comment