Sistem Pendidikan di Afrika Selatan dari Pendidikan Tradisional sampai Pendidikan setelah Era Aparteid

NURHASANAH

 

Di Afrika Selatan, masa persekolahan adalah selama 13 tahun - atau tingkat. Namun, pada tahun pertama pendidikan atau tingkat 0 dan tiga tahun terakhir yaitu dari tingkat 10 hingga tingkat 12 (juga dipanggil "matric") tidak di wajibkan bersekolah. Kebanyakan sekolah dasar menawarkan tingkat 0. Tetapi tingkat ini dapat juga dibuat di TK. Lazimnya untuk memasuki universitas, seseorang wajib lulus "matric" dengan minimum tiga mata pelajaran tingkat tinggi dan bukan sekedar lulus (standar). Malah beberapa universitas prestisius akan mengenakan syarat akademik yang lebih tinggi. Walaupun begitu, mereka yang lulus "National Senior Certificate" layak untuk belajar di "technikon" atau kampus teknikal.

Pendidikan di Afrika Selatan telah hancur akibat adanya sistem aparteid yang mendiskriminasikan penduduk dari segi pendidikan. Sewaktu itu, penduduk kulit putih menerima pendidikan yang terbaik tetapi penduduk yang bukan kulit putih menerima pendidikan yang paling minimal.

Sistem Pendidikan Tradisional

Sebelum kedatangan orang kulit putih, pendidikan masyarakat Afrika menekankan aspek-aspek tradisi seperti kisah-kisah perwira dan pengkhianat serta kisah masyarakat atau "folktales". Dalam masyarakat Khoisan dan Bantu terutamanya, nilai-nilai budaya dan kemahiran hidup merupakan pendidikan penting yang diajarkan dari satu generasi ke generasi yang lain.

Dalam masyarakat Nguni, pendidikan adalah berbeda mengikut jantina. Kaum lelakinya diajarkan kemahiran hidup oleh para cendikiawan yang berlatarbelakang militer, keagamaan dan dari pemimpin politik. Sedangkan kaum wanita, mendapatkan pendidikan tentang kemahiran berumahtangga dan pertanian. Pendidikan tradisi semakin pupus setelah abad ke-19 dan 20, ketika polisi kerajaan kulit putih memaksa penduduk dewasa kulit hitam keluar dari perkampungan mereka dan bekerja di lombong dan kawasan industri.

Sistem Pendidikan British

Pada akhir abad ke-17  pegawai Gereja Reformasi Belanda mendirikan sekolah pertama di Afrika Selatan yang bernama Sekolah Eropa. Sekolah-sekolah tersebut memainkan peranan yang terpenting yaitu untuk pengasahan kemapuan ahli gereja. Di kawasan pendalaman guru-guru yang mengajar di kenal dengan nama Meesters, guru-guru tersebut mengajar asas kefahaman serta kemahiran matematik.

Bahasa telah menjadi isu sensitif dalam pendidikan di negara itu. Sekurang-kurangnya dua dosen sekolah Inggeris beroperasi di kawasan pendalaman koloni Cape, tetapi kehadiran sekolah tersebut ditentang oleh bangsa Afrikaner, yang menganggap bahwa bahasa Inggeris serta kurikulumnya tidak relevan untuk masyarakat mereka. Karena itu, ramai orang Afrikaner memilih untuk megajar anak mereka di rumah atau di gereja masing-masing. Namun demikian, orang kulit hitam di Afrika Selatan terutamanya puak Xhosa dan Nguni telah menerima pendidikan Inggeris. Pada tahun 1877, hampir 60% kanak-kanak di Natal telah mendaftar di sekolah kebangsaan dan sekolah mubaligh Inggeris. Berlainan pula dengan wilayah-wilayah Afrikaner, pendaftaran pelajar amat rendah yaitu 12% di Orange Free State dan hanya 8% di Transvaal. Namun demikian pada akhir abad itu, pendaftaran pelajar mulai bertambah selepas kerajaan memperkenalkan bahasa Afrika di sekolah-sekolah dan memberi kuasa lebih kepada Afrikaner untuk mengawal pendidikan rendah serta menengah. Pada akhir abad ke-19, tiga jenis sekolah telah mendapat bantuan dari kerajaan, yaitu sekolah-sekolah pendalaman, sekolah-sekolah di daerah dan beberapa sekolah menengah di bandar-bandar besar. Selain itu, keempat  wilayah Afrikaner telah membuka  pendaftaran bagi pelajar yang berkulit hitam ke sekolah kerajaan dan mereka hanya boleh belajar di sekolah mubaligh saja, dimana guru-gurunya terdiri dari pegawai-pegawai agama.

Pendidikan tinggi adalah terhkusus kepada orang kulit putih, tetapi pada tahun 1829 kerajaan menumbuhkan institusi pendidikan di perbagai bangsa yang dikenali sebagai "South African College", kemudian menjadi "University of Cape Town". Pada tahun 1852 pegawai-pegawai British di Transvaal dan Orange Free State telah memberikan hak kepada orang Afrikaner untuk menumbuhkan institusi pendidikan tinggi mereka sendiri, dan Gabenor British yang baru Sir George Grey telah mempersiapkan dana untuk membantu institusi tersebut. Pada tahun 1855 kerajaan menumbuhkan "Grey College" kemudian dikenali sebagai "University of the Orange Free State" di Bloemfontein dan berada di bawah kekuasaan Gereja Reformasi Belanda.

Perkembangan pendidikan Afrikaner

Setelah berakhirnya Perang Afrika Selatan pada 1902, kerajaan British berusaha untuk memartabatkan bahasa Inggeris dalam sektor pendidikan di negaranya. Guru-guru Inggeris dari empayarnya seperti Australia dan New Zealand telah dibawa masuk untuk mengajar dalam bahasa Inggeris. Ramai orang Afrikaner terutamanya dari pihak gereja berasa tergugah dan ingin menangkis pengaruh British di Afrika Selatan. Lalu mereka mencadangkan program pendidikan baru yaitu Pendidikan Nasional Kristian, sebagai kurikulum keras untuk sekolah-sekolah. Pada mulanya kerajaan enggan menyokong institusi yang menggunakan program tersebut. Namun demikian,  Jan C. Smut pemimpin Transvaal yang kemudian menjadi Perdana Menteri Afrika Selatan telah berusaha untuk menyatukan British dengan Afrikaner dan membenarkan program ini dijalankan di sekolah-sekolah.

Bahasa Afrikaans menjadi semakin penting selepas tahun 1948, apabila Partai Kebangsaan (NP) berkuasa Parti ini yang pro-Afrikaner telah membuat dasar pendidikan baru yang menghendaki semua graduan institusi tinggi menguasai kedua-dua bahasa yaitu Afrikaans dan Inggeris. Mereka juga menjadikan program Pendidikan Nasional Kristian sebagai falsafah pendidikan negara.

Sistem Pendidikan di bawah Aparteid

Akta Pendidikan Bantu (No. 47) tahun 1953 telah meluaskan jurang pendidikan antara orang kulit putih dan orang kulit hitam. Dua tokoh pendidikan Dr. W.M. Eiselen dan Dr. Hendrik F. Verwoerd, yang pernah belajar di Jerman telah menggunakan banyak elemen falsafah partai National Socialist (Nazi) yang menekankan konsep ketulenan bangsa atau "racial purity". Konsep ini telah dijadikan rasional untuk membiarkan pendidikan penduduk kulit hitam berada di tahap yang paling rendah. Verwoerd, menteri penduduk pribumi pada waktu itu, berkata "bahwa orang kulit hitam perlu mendapat pendidikan yang setaraf dengan peluang hidup mereka, dan tiada tempat untuk mereka selain menjadi pekerja buruh". Kerajaan juga mengawal ketat sekolah-sekolah mubaligh dan memberhentikan bantuan keuangan kepada sekolah tersebut yang mengakibatkan banyak sekolah-sekolah itu ditutup atau dijual kepada kerajaan.

Christian National Education menyokong program aparteid partai NP terutamnya penggunaan bahasa Afrikaans pada tahun-tahun pertama sekolah rendah dan mendiskriminasikan pendidikan berdasarkan perbedaan etnik. Sekolah-sekolah kaum kulit hitam bertambah pada tahun 1960 tetapi kurikulumnya adalah untuk menyediakan mereka bekerja sebagai buruh kasar atau kuli. Pada tahun1970, per-kapita anggaran belanja kerajaan untuk pendidikan orang yang berkulit hitam adalah satu persepuluh berbanding dengan anggara belanja pendidikan orang yang kulit putih. Sewaktu era aparteid, sekolah-sekolah untuk orang berkulit hitam amat daif dari segi kemudahan karena kurangnya tenaga pengajar dan buku-buku teks untuk belajar. Sepuluh kementerian pendidikan yang berbeda telah ditumbuhkan untuk memperluas pendidikan kesemua bantustan di negera ini. Walaupun anggaran belanja kerajaan untuk pendidikan kaum kulit hitam bertambah banyak pada akhir tahun 1980-an. Pada akhir era aparteid tahun 1994 anggaran belanja per kapita untuk pendidikan orang kulit putih masih tinggi yaitu empat kali lipat di bandingkan dengan anggaran belanja untuk kaum kulit hitam

Kerusuhan di Soweto dan Implikasinya

Kerusuhan pelajar tercetus pada tanggal 16 Juni 1976 di Soweto, Johannesburg ketika Hendrik Verwoerd, menjabat sebagai Perdana Menteri saat itu, menguatkan kekuasaan peraturan yang menghendaki separuh dari pelajar sekolah tinggi diajarkan dalam bahasa Afrikaans. Tindakan polis yang ganas, mengakibatkan kematian beberapa kanak-kanak, termasuk mereka yang berusia delapan dan sembilan tahun yang  kemudiannya disusul oleh beberapa kerusuhan yang lain, yang mengorbankan 575 nyawa. Dari jumlah tersebut di ketahui bahwa 134 korban berusia dibawah delapan belas tahun.

Penyokong remaja parti ANC meninggalkan sekolah mereka secara beramai-ramai dan bersumpah "menjadikan Afrika Selatan sebagai negara anarki" kerena mereka menolak sistem pendidikan secara aparteid. Sebahagian dari mereka meninggalkan negara untuk mendapatkan  latihan ketentaraan di Angola, Tanzania, atau Timur Eropah. "Kebebasan sebelum pendidikan" menjadi alasan perang mereka.

Sekolah-sekolah telah mengalami kerusakaan yang parah akibat kerusuhan yang berlaku pada tahun 1976. Keruskan harta benda dan arsonis telah memusnahkan sekolah serta harta bendanya.Bahkan, pelajar serta guru juga telah diserang dan sekolah mengalami kesukaran untuk meneruskan aktivitas di sekolah.

Akta Dasar Nasional untuk  bangsa awam (No. 76) 1984 telah memperbaiki pendidikan kulit hitam tetapi masih mengekalkan unsur pemisahan yang dianjurkan oleh sistem pendidikan Bantu. Akta tersebut telah memberi kekuasa kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk menentukan tugas yang berkaitan dengan silabus pendidikan dan pembebasan di semua institusi pendidikan sama ada yang formal mahu pun yang tidak formal. Tetapi tanggung jawab bagi pelaksana tugas ini di bagikan antara pegawai dan pejabatan kerajaan yang berbeda, sehingga terciptanya berbagai badan pendidikan yang berlainan. Sebagai contoh, Jabatan Pendidikan dan Latihan bertanggungjawab bagi pendidikan kulit hitam di luar tanah asal (homelands). Setiap tiga rumah bagi parlemen yang kulit putih, berwarna dan berbangsa India mempunyai jabatan pendidikan bagi setiap satu kumpulan ras, dan setiap satu dari sepuluh yang berasal dari tanah air yang sama (homelands) memiliki jabatan pendidikan mereka sendiri. Selain itu beberapa pejabatan kerajaan lain turut mengendalikan aspek khusus pendidikan.

Pendidikan adalah wajib bagi semua kumpulan ras, tetapi pada usia berlainan, dan undang-undang dilaksanakan secara berbeda. Mereka yang berkulit putih diwajibkan menghadiri sekolah antara usia tujuh dan enam belas tahun. Mereka yang berkulit hitam juga diwajibkan menghadiri sekolah antara usia tujuh hingga usia enam belas tahun, tetapi undang-undang ini kurang di pakai, karena tidak semua kawasan mempunyai sekolah.

Perbedaan taraf pendidikan antara kumpulan ras yang satu dengan yang lain begitu menonjol. Perbanfingan guru dengan pelajar di sekolah rendah rata-rata 1:18 di sekolah kulit putih, 1:24 di sekolah Asia, 1:27 di sekolah warna, dan 1:39 di sekolah kulit hitam, selain itu 96% guru di sekolah kulit putih memiliki sijil mengajar, sedangkan di sekolah kulit hitam hanya 15% guru yang mempunyai sijil. Kadar kelulusan sekolah menengah bagi pelajar kulit hitam kurang dari setengah dari kadar kelulus bagi pekajar kulit putih.

Ketika kerajaan melaksanakan undang-undang pada tahu 1984, keganasan terbaru meletus sebagai tindakan balas dendam kepada pembaharuan perlembagaan yang terus menyingkirkan penduduk kulit hitam. Akhirnya, kerajaan menyadari bahwa aparteid tidak mampu bertahan. Pada tahun 1986 Presiden P.W. Botha mengaku bahwa konsep aparteid adalalah konsep yang tidak bisa di pakai. Pada akhirnya anggaran belanja pendidikan antara ras-ras yang berbeda semakin berkurangan dan peraturan aparteid dalam pendidikan turut dilonggarkan.

Sistem Pendidikan Setelah Era Aparteid

Merombak kembali sistem pendidikan merupakan pekerjaan yang paling sulit yang dihadapai oleh kerajaan ketika undang-undang aparteid dibatalkan pada tahun 1990-an. Presiden F.W. de Klerk, dalam ucapannya di Parlemen pada Januari 1993, menegaskan perlu adanya satu sistem pendidikan yang tidak berdasarkan ras atau bangsa dengan fleksibelitas yang cukup untuk mengekalkan nilai-nilai agama dan budaya serta bahasa daerah masing-masing. Beliau kemudian menubuhkan Education Co-ordination Service untuk mengurus pendidikan negara secara nasional dan mengambil alih sistem birokrasi dari berbagai hasil pendidikan regim aparteid.

Pada tahun 1993, De Klerk telah menghimpun pakar-pakar pendidikan yang unggul dalam sebuah forum yang dikenali dengan National Education and Training Forum untuk membuat tujuan penyusunan pendidikan nasional. Apabila tahun pertama masuk sekolah di mulai dari Januari 1995, semua sekolah rendah dan menengah kerajaan telah diintegrasikan tanpa adanya kekerasan . Namun tugas yang baru ini agak sulit dilaksanakan karena berbagai halangan, dan undang-undang telah diwujudkan untuk memantapkan perlaksanaannya. Walaupun begitu, terlihat jelas bahwa sistem pendidikanyang baru ini berlandaskan prinsip-prinsip yang berikut:

 

    Perseksamaan

    Penyatuan

    Pendemokrasian

    Tergolong kebudayaan

    Fokus utama pendidikan adalah untuk membangun bakat semua penduduk, dengan beberapa objektif masyarakat tertentu seperti pertumbuhan ekonomi sebagai objektif paling utama.

 

Demi mencapai objektif ini dua reformasi besar-besaran perlu dilaksanakan:

 

    Pertama, pendidikan berdasakan pemerolehan kemahiran (pendidikan berdasarkan hasil) dan kurikulum berkaitan (yang dipanggil Curriculum 2005), yang akan menggantikan sistem pra-1994 yaitu kurikulum berlandaskan kandungan, dan

    Keduanya mewujudkan satu jaringan yang menggalakan pendidikan sepanjang hayat dan latihan untuk semua.

 

Daftar Pustaka

Anonim. 2004. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Bekasi: PT. Delta Pamungkas

http://www.nwu.ac.za/10years/12Engels.pdf Education in South Africa: 10 years after 1994

https://www.google.com/search?q=perkembangan+pendidikan+di+afrika+selatan&ie=utf-8&oe=utf-8#q=sistem+pendidikan+afrika+selatan

com/search?q=sistem+pendidikan+di+afrika+selatan&ie=utf-8&oe=utf-8

http://ms.wikipedia.org/w/index.php?title=Pendidikan_di_Afrika_Selatan&action=edit&section=7

 

1 comment: