STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen ) Di Zaman Kolonial

IRKFA ZUHAYRIAH TANJUNG 

 

            School Tot Opleiding Van Indische Artsen ( Sekolah Pendidikan Dokter Hindia ) , atau yang juga dikenal dengan singkatannya STOVIA adalah sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda.

Sekolah ini didirikan pada 1851. Sebenarnya langkah untuk menuju kearah pendidikan kedokteran sudah dimulai sejak permulaan abad XIX. Pada 1811, beberapa orang bumiputra dilatih untuk menjadi  juru cacar dan mereka dididik oleh para "pemilik vaksinasi". Pendidikan itu dilakukan secara intensif ketika penyakit cacar menjadi ancaman bagi masyarakat pribumi waktu itu.

Pada tahun 1800-an di Jawa menyebar wabah penyakit . Pemerintah kolonial agak kesulitan mengatasi soal ini. Menyewa atau mendatangkan dokter dari Eropa tentu sangat mahal. Makanya muncullah keinginan mendidik kaum pribumi agar menjadi mantri.

            Pusat sekolah itu ada di Waltervreden, Batavia , disebuah rumah sakit militer sekarang bernama  RSPAD . Lulusan sekolah ini disebut "Dokter JAWA ", namun sebagian besar menjadi mantri cacar. HF ROLL, saat menjabat sebagai direktur sekolah Dokter Jawa, mengusulkan ke pemerintah Belanda agar menyelenggarakan pendidikan kedokteran yang dapat disetarakan dengan pendidikan kedokteran yang dapat disetarakan dengan pendidikan kedokteran yang ada di Eropa (Belanda). Dari usulan Roll itu munculah Stovia.

            Sekolah ini diubah menjadi STOVIA. Tetapi versi lain menyebutkan perubahan terjadi pada 1899, yaitu menjadi School tot Opleiding Van Inlandsche Geneeskundigen lalu , Opleding Van Inlandsche Artsen ( STOVIA ) atau sekolah dokter Pribumi, akhirnya pada tahun 1913 diubah kata inlandsche ( pribumi ) menjadi indische ( hindia ) karena sekolah ini dibuka untuk siapa saja.

            Menjelang pertengahan abad XIX lembaga pendidikan itu diadakan secara reguler. Berdasarkan keputusan pemerintahan Hindia Belanda tanggal 2 Januari 1849, didirikan sekolah ahli kesehatan untuk diperbantukan kepada rumah sakit militer di Batavia yang dikenal sebagai STOVIA . Sekolah tersebut dibuka di Batavia  pada 1851 .

Pendidikan dimulai di 3 rumah sakit , di Weltevreden, Semarang dan  Surabaya. Kemudian ditetapkan hanya di Weltevreden saja, terutama untuk menjaga keseragaman. Sekolah itu dibuka dua tahun kemudian dengan 12 murid . Mereka diajarkan pencacar dan memberikan pertolongan jitu kepada penderita penyakit "panas dan sakit perut "

Untuk mendukung pendidikan praktek, diadakan poliknik baut sakit mata dan penyakit lainnya . Semua pasien ditolong tanpa dipungut biaya. Setahun kemudian disediakan rumah sakit militer dibeberapa tempat untuk merawat orang miskin . Waktu itu turut duadakan pengajaran pemeriksaan perempuan pelacur karena pemeriksaan itu merupakan salah satu tugas penting seorang Dokter Jawa.

Pendidikan juru cacar yang semula memerlukan waktu pendidikan selama 1 tahun , kemudian diperpanjang menjadi 2 tahun dengan penambahan beberapa mata pelajaran, diberikan 17 mata pelajaran antara lain : Bahasa Belanda , berhitung, ilmu ukur, ilmu faal, ilmu penyakit, ilmu bedah, dan lain-lain. Hasilnya 11 orang dinyatakan lulus , Dengan surat keputusan Gubernur tanggal 5 Juni 1853 No. 10 mereka diberli gelar Dokter Jawa, tapi diperkerjakan sebagai mantri Cacar . Sehingga para lulusannya dapat mengenal penyakit-penyakit yang banyak terdapat di Indonesia dan dapat melakukan pembedahan ringan serta merawat penyakit sekadarnya.Sesudah dididik selama 2 tahun , para siswa diuji oleh panitia yang terdiri atas dokter dan apoteker militer . Jika lulus , mereka mendapat gelar dokter Jawa.

Pada tahun 1856 mulai diterima anak-anak dari luar Jawa dan dilakukan penyusunan ulang kurikulum untuk menyesuaikan kebutuhan . Sejak 1864 lama sekolah dijadikan 3 tahun dengan syarat yang diperberat . Siswapun dibatasi sampai 50 orang saja, mereka harus pandai membaca dan menulis bahasa melayu dalam huruf latin . Mata pelajaran ditambah 27 , ditambah dasar kosmografi , deologi, minerologi , dan ilmu dokter kehakiman karena mereka harus sanggup membantu polisi dalam memeriksa perkara penganiayaan dan pembunuhan.

Seiring dengan itu, Wewenang dokter Jawa ditambah dari yang biasanya hanya bisa menjadi mantri cacar kini bisa menjadi dokter privat dengan pengawasan pemerintahan. Selulusnya dari sekolah , mereka dilengkapi dengan tas berisi obat , gaji fl.30 sebulan , tiap 5 tahun naik fl.5, sampai maksumum fl.50. Pada awalnya para dokter Jawa ini belum diakui sebagai bagian dari kelompok elit mereka barulah boleh memakai payung pada tahun 1882.

Dikarenakan kekhawatiran atas kesiapan lulusan menghadapi keadaan lapangan, pada tahun 1864 kewenangan penjalanan praktek dokter oleh dokter Jawa dicabut dan mereka kembali hanya bisa bekerja sebagai mantri cacar seperti sebelumnya. Salah satu direktur sekolah , J.J.W.E Van Riemsdijk mengkritik langkah tersebut sehingga pada tahun 1975 diadakan perubahan besar.

Lama pendidikan menjadi 7 tahun , termasuk dua tahun persiapan dimana siswa diajar bahasa Belanda yang akan menjadi bahasa pengantar selama 5 tahun pendidikan selanjutnya. Pada tahun 1889 masa persiapan ditambah menjadi tiga tahun.

Selanjutnya  lama belajar di Stovia diperpanjang lagi menjadi 5 atau 6 tahun . Bahasa pengantar yang digunakan disana adalah bahasa Melayu. Namun sejak 1875, pelajaran diberikan dalam bahasa Belanda.

            Bagi murid-murid yang berasal dari sekolah yang tidak berbahasa pengantar bahada Belanda , diadakan pendidikan pendahuluan selama 2-3 tahun khusus untuk belajar bahasa Belanda . Sejak 1875 , gelar dokter Jawa diubah namanya menjadi ahli kesehatan bumiputra atau inlandsche geneeskunde. Dengan adanya perubahan nama menjadi ahli kesehatan bumiputra diharapkan oleh pemerintah bahwa yang telah berhasil lulus akan lebih sesuai dengan perkembangan potensinya sebagai ahli dibidang kesehatan.

            Pada pergantian abad XIX-XX , Penguasa perkebunan di Deli ( Sumatera Timur ) berminat untuk mendapatkan tenaga-tenaga medis yang lebih baik terapi bisa digaji lebih murah, karena dokter-dokter Eropa sukar didapan dan mahal gajinya. Mereka melihat bahwa jalan keluar dari kesulitan ini ialah dengan mendidik orang pribumi samoai menjadi dokter yang berpendidikan lengkap.

            Dibawah pimpinan Dr.H.F.Roll dan didukung oleh Departemen Pendidikan , dilakukan upaya peningkatan kinerja Stovia. Lama belajar ditingkatkan menjadi 6 tahun pendidikan, untuk menyambung 3 tahun tingkat persiapan bagi sebagian besar mahasiswa. Karena kedudukan dokter pribumi tidak mendapat pengahargaan yang tinggi dimata masyarakat Indonesia, bermacam-macam daya penarik pun dipergunakan untuk menarik minat mahasiswa.

            Sejak 1891 diputuskan untuk mengizinkan semua pemuda yang menyatakan berminat pada pendidikan dokter Jawa agar dapat mengikuti sekolah dasar  Eropa tanpa dipungut biaya. Daya tarik ini diikuti dengan perjanjian yang ditanda tangani oleg orangtua, bahwa anak mereka akan bekerja pada pemerintahan selama beberapa tahun sesudah menyelesaikan pendidikan mereka.

            Hal ini penting , karena gaji dokter sebagai pegawai pemerintahan agak rendah, sedangkan praktik swasta lebih menjanjikan pendapatan yang relatif lebih tinggi. Pada 1904 daya tarik ditambah dengan menjanjikan mahasiswa yang berbakat untuk diberi gaji 150 gulden begitu ia tamat , dengan kesempatan dinaikkan secepatnya sebanyak tiga kali jumlah tersebut.

            Reorganisasi yang dilakukan pada 1900-1902 menetapkan sekolah dasar Eropa dan pengetahuan bahasa Belanda menjadi syarat masuk STOVIA , dan dapat dipergunakan pemengangnya untuk masuk sekolah dokter di Negeri Belanda. Berbagai kelas STOVIA telah dinaikkan ke tingkat akademis dalam sistem pendidikan menengah biasa . Dengan demikian, mengenyam pendidikan ditahun pertama di STOVIA sekarang dengan diploma sekolah MULO dan sebagainya.

          

            Pada tahun 1920, secara berthap pendidikan STOVIA di daerah Kwini , Senen , dipindahkan ke Salemba ( sekaranng kampus Universitas Indonesia ) Sedangkan gedung lama didaerah Kwini, Senen, sempat gonta-ganti fungsi sebelum ditetapkan sebagai museum kebangkitan nasional pada tahun 1974.

            Sementara itu, kebutuhan kolonialis akan tenaga kesehatan makin meningkat. Pada awalnya penguasa kolonial memberi iming-imimg berupa beasiswa dan perumahan gratis kepada orang-orang keturunan priayi. Tetapi syaratnya jelas mereka harus siap bekerja dinas pemerintah . Umumnya , ditempatkan sebagai mantri cacar.

Namun para priayi yang kurang tertarik dengan pekerjaan sebagai dokter atau mantri kurang tertarik masuk sekolah itu. Sekolah kekurangan murid. Akhirnya , pada tahun 1891, sekolah ini dibuka umum. Situasi ini menyeret anak-anak priayi kalangan menengah.

Stovia juga membebaskan mahasiswanya dari kewajiban membayar . Selain itu, mahasiswa juga mendapat alat-alat kuliah dan seragam gratis. Juga setiap mahasiswa menerima uang saku sebesar 15 gulden perbulan . Hal ini untuk mendongkrak minat orang muda masuk ke sekolah dokter. Stovia sering disebut sekolah orang miskin.

Dengan pembebasan biaya itu, maka banyak orang dari keluarga kurang mampu atau golongan priayi rendah masuk kesekolah tersebut. Wahiin sendri , misalnya bukan seorang Raden demikian pula Cipto Mangunkusumo dan adiknya Gunawan mereka anak guru.

Seluruh siswa STOVIA pada umumnya memasuki sekolah tersebut pada usia 14-15 tahun dan merupakan mereka yang terbaik dari sekolah sebelumnya. Dilihat dari nama-namanya , banyak sekali yang bukan berasal dari kalangan ningrat atau bangsawan melainkan dari tingkat priayi rendahan . Dengan demikian STOVIA menghasilkan golongan elit baru yang disebut Robert Van Niel sebagai " Prototype pegawai pemerintah dan intelektual abad dua puluh ".

Sebagian dari kalangan intelektual inilah yang nantinya , berlawanan dengan harapan pemerintahan kolonial terhadap mereka, menjadi penggerak kesadaran nasional atas buruknya perlakuan Belanda terhadap kaum pribumi. Dr. W. Boosch Kepala Jawatan Kesehatan saat itu mengusulkan supaya beberapa orang pribumi dididik untuk menjadi pembantu dokter Belanda . Dari sana muncullah sekolah Jawa yang ditetapkan melalui keputusan Gubernemen tanggal 2 Januari 1849 No. 22 Disana ditetapkan bahwa :

1.      Di rumah sakit milter supaya dididik dengan percuma kerang lebih 30 pemuda Jawa, supaya menjadi dokter pribumi dan " Vaccinatuer "

2.      Yang akan diterima adalah pemuda dari keluarga baik-baik , pandai menulis dan membaca bahasa Melayu dan Jawa.

Selain pendidikan , mereka harus bersedia masuk dinas pemerintah sebagai mantri cacar. Sesudah sebanyak belajar sendiri , juga dapat nantinya memberi pertolongan medik kepada penduduk daerahnya sendiri.

3.      Mereka yang menghendaki , diberi gaji fl.15 sebulan dan gratis perumahan.          

            Salah satu tokoh yang juga sangat berkontribusi bagi pembangunan pergerakan di Stovia adalah Ernest Douwes Dekker . Ia tinggal didekat Stovia E.Douwes Dekker saat itu, yang sudah bekerja sebagai wartawan , punya perpustakaan dan ruang baca dirumahnya . Itulah yang menarik para mahasiswa STOVIA datang kerumahnya.

            Douwes Dekker ketika itu bekerja di Bataviaas Nieusblad, sebuah surat kabar yang awalnya cukup radikal. Lalu, ia merekrut sejumlah mahasiswa STOVIA untuk dimasukka dikoran tersebut. Dengan koran itu, Douwes Dekker menyiarkan pandangan politiknya.

            Disitu pula para mahasiswa menyerap banyak informasi. Salah satunya tentang kebangkitan gerakan kaum muda di Turki. Mahasiswa mendiskusikan kejadian-kejadian tersebut. Selain itu, kehadiran sosok Wahidin Soediro Hoesodo, seorang dokter lulusan sekolah dokter jawa, juga sangat mempengaruhi kelahiran pergerakan. Dikampus STOVIA inilah berdiri organisasi Boedi Oetomo.

            Nama Stovia tetap digunakan hingga tanggal 9 Agustus 1927 , yaitu saat pendidikan dokter resmi ditetapkan menjadi pendidikan tinggi, dengan nama Geneeskundige Hoogeschool ( atau sekolah tinggi kedokteran ) sempat terjadi beberapa kali lagi perubahan nama , yaitu Ika Daigaku ( Sekolah kedokteran ) pada masa pendudukan Jepang dan Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Sejak 2 Februari 1950, Pemerintah Republik Indonesia mengubahnya menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , yang masih tetap berlaku hingga sekarang.

            Dengan demikian, keberadaan STOVIA sangat berperan penting dalam perkembangan nasionalisme di Indonesia. Disamping kemampuan individu para pelajar STOVIA , pendidikan yang menanamkan disiplin tinggi bagi para pelajarnya ini mampu menyatukan pelajaran dari berbagai suku bangsa di Indonesia . Selain itu, keberadaannya dipusat kota menjadikan sekolah ini menjadi tempat persemaian nasionalisme yang bagus bagi para pelajarnya . Beberapa tokoh pergerakan nasional alumni STOVIA antara lain Dr. Wahidin Soedirohoesodo, Dr. Tjiptp Mangoenkoesoemo, Dr. Goenawan dan Dr. Soetomo.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti Sp.I . Sejarah .Perumahan Permata Cimanggis : PT.MAHADAYA,2015.

Sejarah Singkat FKUI , Mei 2007.

Lubis, Chairuddin P. Sejarah Pendidikan Kedokteran Di Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 2008 .

Maziyah, Siti . Peranan Stovia Dalam Pergerakan Nasional Di Indonesia . Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Dipenogoro.

http://id.wikipedia.org/wiki/sejarah_pendidikan_stovia_zaman_kolonial

 

No comments:

Post a Comment