UPACARA BELIAN , UPACARA ADAT SUKU PETALANGAN RIAU

Diki Darmawan/PBM/FB

Upacara adat belian adalah upacara tolak bala yang umumnya ditujukan untuk empat hal, yaitu untuk mengobati orang sakit, membantu orang hamil yang dikhawatirkan sulit melahirkan, untuk mengobati kemantan, dan untuk menolak wabah penyakit.

1. Asal-usul
Suku Petalangan adalah salah satu suku terbesar di Riau (Koentjaraningrat, 1970; Muchtar Luthfi ed, 1975). Suku ini memiliki kebudayaan yang unik, salah satunya adalah upacara adat belian. Upacara ini memiliki banyak tujuan seperti menolak bala, menyembuhkan penyakit, dan mengobati orang yang sulit melahirkan. Di beberapa desa di Riau, orang-orangtua masih menjalankan upacara ini, meskipun sudah ada sistem penyembuhan modern. Hal ini merupakan salah bukti kesetiaan mereka akan tradisi leluhur.
Dalam sejarah masyarakat Melayu Riau, Suku Petalangan dikenal sebagai suku yang memiliki banyak adat istiadat. Contohnya adalah upacara belian yang sampai sekarang masih tetap dilestarikan. Upacara ini merupakan ajaran leluhur agar manusia menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan makhluk yang terlihat maupun tidak. Upacara ini juga bertujuan agar manusia bersyukur kepada Tuhan atas kesehatan mereka (Nizamil Jamil, dkk, 1987/1988; Budisantoso, 1986). 
Belian menurut bahasa orang Petalangan diambil dari beberapa arti. Menurut mereka, belian adalah nama kayu yang keras dan tahan lama. Kayu belian ini pada masa lalu biasa digunakan untuk bahan membuat ketobung, yakni gendang untuk mengiringi upacara adat. Kayu ini juga baik untuk bahan membuat bangunan rumah. Menurut kemantan (orang yang dapat berkomunikasi dengan makhluk gaib), kayu belian disebut juga dengan kayu putih sangko bulan yang berarti kayu tempat tinggal jin yang baik (Nizamil Jamil, dkk, 1987/1988).
Kata belian juga dipercaya berasal dari kata bolian yang berarti persembahan. Belian juga dianggap berasal dari kata belian yang berarti budak atau hamba sahaya. Dari arti-arti tersebut, secara umum, upacara belian dapat diartikan sebagai upacara persembahan kepada Tuhan agar diselamatkan dari marabahaya dan mengharap kesembuhan serta perlindungan dari beragam penyakit dan gangguan makhluk gaib yang jahat (Nizamil Jamil, dkk, 1987/1988).  
Berdasarkan arti di atas, upacara belian pada umumnya ditujukan untuk empat hal, yaitu untuk mengobati orang sakit, membantu orang hamil yang dikhawatirkan sulit melahirkan, untuk mengobati kemantan, dan untuk menolak wabah penyakit. Meskipun demikian, upacara belian biasanya digelar terpisah berdasarkan salah satu dari tujuan di atas (Tenas Effendy, 1980).
Upacara adat belian terdiri dari dua macam, yaitu belian kocik (kecil) atau biaso (biasa) dan belian bose (besar) atau polas (khusus). Belian biaso adalah upacara yang digelar untuk orang hamil yang dikhawatirkan sulit melahirkan. Selain itu, juga untuk orang yang terkena wabah penyakit atau mendapat gangguan binatang buas. Namun, jika upacara belian biaso tidak mampu menyembuhkan penyakit tersebut, barulah diadakan belian bose atau polas (Nizamil Jamil, dkk, 1987/1988). Dengan kata lain, belian biaso dan polas intinya adalah sama, hanya waktu digelarnya saja yang berbeda.
2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Upacara adat belian digelar pada malam hari. Malam dianggap waktu yang tepat untuk bedoa dan memohon kepada Tuhan. Selain itu, pada malam hari biasanya seluruh warga suku dapat berkumpul bersama karena jika siang hari mereka bekerja di hutan.
Upacara ini biasanya digelar di rumah orang yang sakit atau di rumah adat yang besar. Selain itu, pemangku adat dibantu oleh warga akan membuat rumah-rumah kecil di depan rumah tempat upacara sebagai salah satu syarat upacara.   
3. Pemimpin dan Peserta Upacara
Upacara adat belian dipimpin oleh kemantan atau mantan (orang yang ahli mengobati penyakit). Selain karena ahli, seorang kemantan dipilih karena ia dianggap dapat menjalin komunikasi dengan makhluk gaib. Selama upacara berlangsung, Kemantan akan berhubungan dengan makhluk gaib yang baik dan meminta mereka ikut hadir untuk membantu menyembuhkan penyakit pasien.
Upacara belian biasanya dihadiri oleh seluruh anggota suku atau oleh keluarga yang sakit dan sanak kerabat mereka. Meskipun demikian, upacara adat belian melibatkan warga suku secara keseluruhan karena upacara ini adalah upacara kolektif (bersama).
4. Peralatan dan Bahan
Upacara adat belian memerlukan beragam alat dan bahan, antara lain:
  • Puan, rangkaian daun kelapa muda (janur) yang dihiasi bunga-bungaan;
  • Dame (damar), obor yang terbuat dari damar yang ditumbuk halus;
  • Dian, lilin besar yang dibuat dari sarang lebah yang diberi sumbu kain pintal dan dilekatkan pada tempurung kelapa;
  • Gonto, genta dari kuningan;
  • Pending, kepala ikat pinggang kemantan dari perak atau kuningan;
  • Kain kesumbo, kain warna merah untuk tudung kemantan;
  • Destar atau tanjak, ikat kepala kemantan;
  • Mangkuk putih, tempat meracik limau dan cincin tanda orang minta obat;
  • Cincin perak milik orang yang sakit;
  • Padi;
  • Mayang, daun kepau (sejenis palem);
  • Kayu gaharu untuk dibakar;
  • Pisau kecil;
  • Ketitipan, berbagai jenis jamur dari pucuk daun kepau;
  • Jeruk limau;
  • Sanding dan lancang, sejenis perahu yang terbuat dari pelepah kelubi (pohon asam paya);
  • Balai pelesungan, rumah-rumahan tidak beratap dari pelepah kelubi;
  • Bokal, sesaji yang dibungkus daun pisang;
  • Mondung (ayam);
  • Hidangan yang terdiri dari nasi kunyit, panggang ayam, telur rebus, gulai ayam, dan daging hewan lain;
  • Balai induk, bangunan khusus yang dibuat di depan rumah tempat upacara digelar;
  • Tikar pandan putih.
Seluruh perlengkapan dan bahan di atas disiapkan oleh dua orang khusus yang disebut tuo longkap dan pebayu. Selain betugas untuk hal itu, pebayu juga bertugas memeriksa semua perlengkapan dan bahan-bahan. Jika belum lengkap, maka pebayu harus mencari kelengkapannya sebelum upacara dimulai. Penyiapan segala perlengkapan dan bahan-bahan upacara juga akan dibantu oleh warga suku dan anak iyang, yaitu orang yang pernah minta tolong kepada kemantan, baik untuk berobat maupun keperluan lainnya.
Jika dalam keadaan darurat, perlengkapan dan bahan-bahan di atas diperbolehkan dibuat secara sederhana. Keadaan darurat itu antara lain seperti banyak orang yang sakit atau serangan binatang yang mengganas sehingga tidak ada orang yang berani ke hutan mencari pelengkapan.
5. Proses Pelaksanaan
Proses pelaksanaan upacara belian terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan penutup.
a. Persiapan
Persiapan upacara ini dimulai dengan musyawarah antara pemangku adat dengan keluarga pesukuan orang yang akan diobati. Musyawarah dilakukan untuk mencari kesepakatan apakah orang yang sakit tersebut akan diobati menggunakan dengan upacara belian biaso atau bose. Setelah kesepakatan diperoleh, kemudian pemangku adat menyampaikannya kepada monti rajo (pemimpin puncak adat). Setelah itu, diadakan musyawarah lagi yang melibatkan orang-orang tertentu. Musyawarah ini disebut dengan musyawarah sekampung.
Hasil musyawarah sekampung disampaikan kepada tuo longkap yang kemudian akan berunding dengan pebayu untuk menentukan waktu pelaksanaan upacara yang tepat. Setelah ditentukan waktunya, keduanya menyampaikan lagi kepada monti rajo dan kepada desa, lalu mereka bersama-sama pergi ke rumah kemantan. Kemantan lantas menentukan apakah akan diadakan upacara belian biaso atau bose. Lazimnya antara keinginan kemantan, masyarakat, dan pemuka adat tidak ada perbedaan. Setelah itu, baru diumumkan kepada seluruh masyarakat dan mereka akan mengumpulkan biaya dan segala kebutuhan upacara.
Persiapan selanjutnya adalah membersihkan rumah yang akan dijadikan tempat upacara dan memasak hidangan untuk para peserta upacara. Namun, agar tidak memberatkan tuan rumah, biasanya para kerabat yang akan hadir sudah membawa beragam bahan-bahan dapur sesuai kemampuannya, seperti beras, gula, kopi, ayam hidup, ikan, sayur mayur, dan sebagainya.
Persiapan lainnya adalah menentukan siapa-siapa yang akan pergi ke hutan untuk meramu (mengambil) kayu, mencari rotan, pucuk kepau, atau pelepah pohon kelubi. Mereka ini akan dipimpin oleh seorang dukun yang mengetahui mantra kayu, agar nantinya upacara tidak diganggu oleh makhluk gaib yang jahat.
b. Pelaksanaan
Saat pagi hari, dengan dipimpin oleh dukun, beberapa orang mengambil kayu di hutan untuk ritual beramu. Kayu dipilih yang batangnya lurus, tidak cacat, bukan kayu tunggal, tidak dipalut akar, tidak dihimpit kayu lain, tidak sedang berbunga atau berbuah, dan tidak ditandai orang lain.
Pertama-tama, sang dukun duduk di dekat pohon sambil membakar kemenyan lalu membaca doa monto kayu atau doa memohon mengambil kayu dari hutan. Setelah itu, kayu baru boleh ditebang dan dibawa pulang untuk dijadikan salah satu syarat upacara.
Saat sore hari, pebayu menyampaikan hajat pengobatan kepada kemantan. Keduanya lalu berbincang sembari makan sirih dan disaksikan oleh orang banyak. Kemantan lalu berdoa dan meminta bantuan doa kepada yang hadir agar nantinya upacara dapat berjalan lancar.
Setelah itu, bujang belian mengambil gendang ketobung. Gendang lalu ditaburi padi, diasapi dengan kemenyan, dan dibacakan mantra dengan tujuan agar dapat mengobati orang sakit. Kemudian, pebayu membaca doa sambil meracik limau dan merendam cincin perak milik orang yang sakit. Ritual ini dibacakan hanya dengan diterangi damar (lilin). Cincin ini nantinya diharapkan dapat menyembuhkan sakit sang empunya. Setelah pebayu selesai membaca doa, dilanjutkan kemantan membaca doa. Hal ini ditujukan agar limau dan cincin semakin mujarab.
Setelah ritual-ritual di atas, upacara belian dimulai dengan membunyikan ketobung. Saat itu, kemantan duduk bersila sambil dikerudungi kain dan membunyikan genta lalu membaca mantra. Selanjutnya, kemantan sujud menyembah ke arah dian sambil membaca mantra.
Seusai bersujud, kemantan berdiri. Pada saat yang sama pebayu menggelar tikar putih. Lalu kemantan berjalan mondar-mandir di atas tikar dan mulai menari sambil melantunkan mantra. Pada saat ini, kemantan berada dalam kondisi kerasukan (trance) akuan (makhluk gaib). Menurut kepercayaan, dalam kondisi kerasukan, kemantan sedang melakukan perjalanan melewati padang, mendaki gunung, dan sebagainya.
Setelah sampai tujuan, kemantan lalu meminta obat secara spiritual sesuai dengan tujuan upacara. Ritual ini dilakukan sambil terus diiringi dengan menari, membunyikan genta, dan mendendangkan mantra. Biasanya kemantan memberi kode tertentu kepada pebayu agar membawa orang yang sakit ke tengah ruangan, lalu kemantan akan mulai mengobati dengan membacakan mantra atau meminumkan ramuan yang telah diberi doa.
Setelah pengobatan selesai, proses selanjutnya adalah mengantarkan persembahan kepada akuan yang telah memberikan obat. Persembahan diberikan dengan cara dibawa sambil menari, lalu kemantan dan pebayu saling berdialog seakan berdialog dengan akuan. Ritual ini biasanya memakan waktu lama karena banyaknya dialog, salah satunya menanyakan kepada akuan apakah dirinya menerima persembahan tersebut. Dialog ini penting, karena jika tidak diterima akan berakibat pada obat yang diberikan, di mana obat tidak akan bermanfaat.  
c. Penutup
Tahap terakhir adalah kemantan mengambil perapian dengan mengusapkan kemenyan ke wajahnya dan mengelilingi asapnya. Ritual ini adalah untuk mengembalikan kesadaran kemantan. Dengan ritual ini upacara belian dianggap selesai.  
6. Doa-doa
Dalam upacara adat belian terdapat beberapa doa yang dibaca, antara lain doa mohon izin menebang kayu, doa meminta obat, dan doa persembahan. Doa-doa tersebut dibaca menggunakan bahasa asli Suku Petalangan.
7. Pantangan atau Larangan
Upacara ini memiliki pantangan dan larangan yang harus dihindari, antara lain:
  • Upacara tidak boleh digelar pada siang hari;
  • Upacara tidak boleh digelar dalam bulan puasa, kecuali untuk menolak wabah penyakit ganas atau binatang buas yang tiba-tiba mengamuk;
  • Upacara tidak boleh digelar pada malam Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha.
8. Nilai-nilai
Upacara adat belian memuat nilai-nilai kehidupan yang positif, antara lain sebagai berikut:
  • Kebersamaan. Nilai ini tercermin dari perayaan upacara yang dipersiapkan dan digelar secara kolektif. Pola kerja seperti ini penting karena bersentuhan langsung dengan aspek ekonomi. Nilai ini juga tercermin ketika seluruh masyarakat hadir bersama-sama menuju tempat ritual. Mereka mengikuti ritual bersama secara khidmat sambil membaca doa. Suasana ini tentu saja semakin menguatkan rasa solidaritas bersama sebagai satu suku.
  • Sakralitas. Nilai ini tercermin dalam berbagai ritual dan bacaan doa yang membutuhkan konsentrasi, ketenangan jiwa, dan keikhlasan seluruh peserta upacara. Hal ini tampak pada saat pelaksanaan ritual pembacaan mantra oleh kemantan, persembahan untuk akuan, dan ritual meminta obat. Suasana semakin terasa sakral ketika kemantan dalam kondisi trance sambil menari membaca mantra dan dalam bau kemenyan. Dalam suasana itu, masyarakat tampak pasrah kepada Yang Maha Kuasa dengan mengharap obat yang diberikan melalui akuan.
  • Peduli terhadap lingkungan. Orang Petalangan tampaknya sangat menyadari bahwa alam perlu dijaga keseimbangannya. Penyakit yang mereka alami dipercaya sebagai indikasi saatnya mereka menyeimbangkan kembali hubungan mereka dengan alam sekitar dan makhluk yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, upacara ini dilengkapi dengan syarat-syarat yang diambil dari hutan dan berhubungan dengan akuan (makhluk gaib).
  • Pelestarian tradisi leluhur. Upacara adat belian yang digelar merupakan ajaran peninggalan leluhur. Dalam konteks ini, maka penyelenggaraan upacara ini merupakan upaya dalam menjaga dan melestarikan tradisi nenek moyang.
9. Penutup
Upacara adat belian adalah bukti keterikatan orang-orang Petalangan akan ajaran leluhur. Oleh karena itu, wajar jika upacara ini terasa mistik dan penuh dengan perlengkapan serta proses yang rumit. Dalam upaya melestarikan tradisi leluhur, ritual seperti ini penting untuk dijaga, karena memiliki nilai-nilai yang luhur.
(Yusuf Efendi/Bdy/43/02-11)Sumber: http://202.146.4.114
Referensi
Nizamil Jamil dkk, 1987/1988. Upacara tradisional belian di Daerah Riau. Riau: Bagian Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan.
Tenas Effendy, 1980. Upacara Belian. Riau: Bagian Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan.
Muchtar Lutfi, dkk. 1975. Sejarah Riau. Riau: UNRI.
Budisantoso, dkk, 1986. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya. Riau: Pemerintah Daerah Propinsi Riau. 
Konetjaranigrat, 1970. Manusia dan kebudayaan Indonesia. Djakarta: Djambatan
Yusuf Efendi/Bdy/43/02-11Sumber: http://202.146.4.114

No comments:

Post a Comment